Selasa, 29 Agustus 2006

Lukisan Krayon


Kemarau telah membuat suasana menjadi kering. Syukur kampus ini terletak di dalam hutan (tidak tahu kenapa kampus ini dibuat seperti didalam hutan, katanya sih dari rektor dan jajarannya terdahulu yang semuanya berasal dari Gadjah Mada sehingga suasana kampus ini mencontoh plek apa adanya UGM) sehingga kemarau hanya berdampak pada banyaknya daun kering. Di jalanan, di halaman, di atas tanah hingga di atas selasar, hanya kerontang saja yang terlihat. Bedanya, angin lebih sering dan lebih banyak bertiup. Seperi saat ini, pukul dua siang, angin bertiup pelan.
Mm, jalanan sepi, sekaranglah waktunya. Wuss!! Kupacu Suzuki Satriaku, suaranya meringkik seperti kuda yang digebah. Angin menerpa wajahku dan dari spion kulihat dedaunan kering berhamburan, beterbangan kaget. Nikmat sekali. Terima kasih kepada pabrik sepeda motor Suzuki yang telah menciptakan motor yang tau betul dengan selera ngebutku, seperti Satria ini. Seseorang sedang berjalan kaki di pinggir jalan, dengan tas rangsel kuliahnya yang berisi dua tabung sebesar bumbung shuttle cock, lebih besar sedikit. Iseng ah, sepeda motorku kupacu lebih cepat dan melewati orang itu dengan jarak tidak lebih dari satu sentimeter saja! Ia terkejut amat sangat hingga terloncat ke rerumputan sisi jalan. Dari kaca spion kulirik ia menggumamkan sesuatu. Aku berhenti mendadak, berbalik arah.
“Ngomong apa barusan!”
“Ngomong apa?”
“Tadi ngomong apa? Nyumpahin gue ya!”
“Tidak.”
“Awas ya!”
Matanya menatapku. “Mbak yang salah kok marah sih?”
“Eh kamu, berani ya?”
“Ei, dimana-mana, cewek berjilbab tuh ngomongnya santun gak ketus gitu. Lagian bawa motor kaya kesetanan gitu, bahaya tau!”
“Sok teu!” Ngeeng..., aku ngebut kembali.
Laki-laki itu adalah Alip. Aneh, dia mahasiswa ekonomi Studi Pembangunan, tetapi tas rangsel kuliahnya berisi bumbung-bumbung seperti mahasiswa teknik sipil. Aneh emang.
***
Sekarang Akuntansi Biaya I.
“Ir, kamu tahu Alip?”
“Wat? Alip? Anak Sisa Penjurusan itu?” Kami menyebut anak-anak SP (Studi Pembangunan) dengan plesetan Sisa Penjurusan kami menganggap mereka sebagai mahasiswa ekonomi kelas dua. Beda dengan jurusan kami Manajemen.
“Iya, kenapa? Gak ada cowok lain apa yang bisa ditanyakan?”
“He he he, nama lengkapnya siapa yah?”
“Alip Ba Ta Tsa kali?”
“He he he, kayanya bete amat?”
“Iya, tadi pagi aku bawa motor, hampir nyerempet dia, padahal gak kena, tapi dianya marah, sebel!”
Kelas bubar.
“Ir, ngenet yuk?” Maksudnya ke College Net, fasilitas IT yang dibangun dan disediakan oleh fakultas Teknik Informasi. Disamping mengenai seluk beluk kampus, mulai dari urusan kademis seperti KRS dan LHS hingga ke urusan yang ringan-ringan saja, seperti cerita-cerita roman picisan postingan mahasiswa baru atau jadwal pertandingan bola antar fakultas dan macam-macam lah. Bagi yang iseng, dapat juga dijadikan tempat untuk mencari tahu tentang seluk beluk seseorang mahasiswa di sini. Seperti yang dilakukan Imas saat ini setelah berhasil setengah memaksaku masuk ke ruangan ini.
“Ir, coba liat, bagaimana ia melakukan ini?” Imas memperlihatkan biodata Alip yang kosong melompong. Hanya nama, Alip!
“Iya ya?” Aku juga terperangah. Tidak mungkin ia dapat melakukannya. Tidak seseorangpun yang dapat lolos. Siapapun yang hidup di Universitas ini harus tercantum di sini. Mulai dari Rektor hingga tukang kebun sekalipun. Asal terdaftar! “Ah mumet lah Mas, pulang yuk?”
“Kamu tidak tertarik?”
“Apa? Stroberi mangga apel!”
“Maksudnya?”
“Sori nggak lepel!”
“He he he, oke nona.”
Berdua sekarang, ngebut lagi.
***
Satu hari bersama ayah. Sebuah acara anak TK yang melibatkan orang tua murid, ayahnya. Adam ponakanku telpon ayahku, kakeknya karena orang tuanya tidak bisa hadir. Orang tuanya, kakakku bekerja pada perusahaan Microsoft dikawasan industri didekat sini, dalam area yang luasnya mencapai 300 Ha, didalamnya terdapat seluruh fasilitas yang dibutuhkan para pegawainya, termasuk ‘Flower Kidergarden’ tempat Adam sekolah TK.
Sore harinya, sebuah lukisan terpasang di dinding ruang tamu.
“Baru beli yah?”
“Beli dari Hongkong? Lha Ayah gak punya duit?”
“Emang mahal lukisan kayak gitu?”
“Jual Satriamu, baru dapat.”
“Ah, berarti nyampe sepuluh jutaan dong?”
Lukisan itu memaksaku menatapkan mata padanya. Memang luar biasa indahnya. Harimau yang sedang menyeberang sungai. Separuh badannya di dalam air separuh lagi di permukaan. Air yang dilaluinya beriak membuat gelombang-gelombang berbentuk elips. Matanya menatap kepada kita yang sedang menikmati lukisan itu. Benar-benar hidup. “Lukisan cat minyak yang indah sekali.”
“Krayon! Tadi guru TK itu memberikannya untukku. Dia pelukis yang sangat berbakat. Sambil mendemonstrasikan caranya mengajar melukis, ia juga memajang hasil karyanya. Beberapa bapak membelinya. Ayah beruntung diberi gratis. Coba lihat berapa harganya.
“Empat belas juta rupiah! Hah!
A Gardner, nama pelukisnya.
***
Hujan! Negeri yang memang amburadul, sampai cuacapun sudah tidak menentu. Mungkin ini hujan pertama diakhir musim kemaru ini. Terserahlah.
Jalanan basah, debu-debu hanyut dan air kotor mulai tergenang. Berarti kendaraan harus berjalan pelan. Wow, tidak ada itu dalam kamusku. Tancap terus, apalagi kuliah sebentar lagi mulai. Emang Diko pacarku itu sialan banget. Tadi dia janji akan jemput untuk berangkat bareng. Hingga tinggal beberapa menit lagi kuliah mulai tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Terpaksa deh aku berangkat sendiri.
Nah, ni dia nih tempat melampiaskan kesal. Jebreet, sepeda motorku melintasi genangan air. Segera air kotor itu muncart ke kiri dan ke kanan, seorang di pinggir jalan menjerit. Ia memegangi pakaiannya yang basah dan kotor. Kelihatan wajahnya kesal sekali sambil mengacungkan telunjuknya ke arahku. Orang yang kesal dan sedih itu bersiap berbalik arah pulang, ketika sepeda motorku menghampirinya.
“Hei jelek, ngomong apa barusan?”
“Kamu tega sekali, aku tidak bisa kuliah, aku harus pulang.”
“Bodo! Monyet jelek!”
“Hei, kamu jahat sekali!” Ia menatapku heran
“Miskin belagu!” E Ge E lah, emangnya gue EGP! Aku memutar Satriaku lagi, tanpa bisa kutahan, sebuah angkot nyelonong, dan, GELAP!
Aku terbangun menatap botol infus yang tergantung dan sekujur tubuh yang serasa remuk. Tangan dan kakiku sebagian sudah diperban. Ah, rumah sakit lagi, sudah dua kali sepeda motor itu membawaku ke rumah sakit. Tak lama ortuku dan perawat masuk.
“Yah, aku jatuh lagi.”
Ayahku hanya tersenyum dingin.
“Sus, siapa tadi yang membawanya kesini?” Ayahku bertanya.
“Temennya pak, gak tahu namanya, pakaiannya basah kuyup.”
Kenapa lagi monyet jelek itu pakai nolongin segala, sok pahlawan!
Beberapa hari berlalu, aku berharap segera dapat keluar. Tapi mereka masih memberikan obat-obatan dan melakukan beberapa pemeriksaan.
“Sus, itu buah sama bunga dari siapa?” Aku berharap Diko yang membawakanya atau kalau tidak, mungkin Rio. Mereka pacar-pacarku.
“Oh, dari temennya mbak, yang kemarin mengantarkan mbak kemari.”
Ngapain lagi tuh anak sok perhatian segala. “Bawa keluar aja sus, buahnya kalau sus mau boleh untuk suster aja.”
“Iya, mbak, mas itu juga bilang kalau tidak suka tidak usah diterima gak apa-apa, cuma suratnya mohon dibaca.” Suster itu beranjak membawa keranjang buah dan karangan bunga itu keluar setelah sebelumnya memberikan sepucuk surat, lebih tepatnya kartu ucapan untukku.
‘Ir, semoga lekas sembuh.
Sakit dan sehat datangnya dari Yang Maha Kuasa. Sehat baik agar kita bisa berbuat banyak. Sakitpun baik agar kita tahu nikmatnya sehat dan bisa mensukurinya. Aku berharap kiranya sakit ini dapat memberikan cukup waktu bagimu untuk beristirahat sejenak dari selera ngbutmu yang besar itu. Lebih dari itu, aku berharap dengan sakit ini semoga Allah melembutkan hatimu yang keras itu, melenturkan otot-otot bibirmu agar lebih mudah dan lebih banyak tersenyum. Meneduhkan sedikit sorot matamu yang tajam itu, dan memelankan sedikit suaramu yang kuat itu. Semoga sakit ini dapat menjadikan hatimu bisa lebih bersabar. Lebih dari segalanya, semoga sakitmu ini merupakan jalan bagi Allah yang kuasa untuk mengangkatmu ke derajat yang lebih tinggi. Semoga sakit ini sebagai tanda dari Allah kalau Dia benar-benar menyayangimu. Sebelum kertas ini kau buang, sekali lagi, Semoga lekas sembuh.
Sok religius!
Hampir saja kertas itu aku buang. Tapi jangan, kalau aku buang berarti dia benar telah menduga kalau aku akan membuangnya. Simpan saja dan dia salah. Aku tidak membuangnya.
Sakit sialan itu akhirnya berlalu. Lega rasanya bisa duduk di atas jog Satria lagi. Kami memang senasib, aku masuk rumah sakit, dia masuk bengkel. Lalu keluar bareng, ke kampus bareng lagi, ngebut bareng lagi.
Mengapa si Alip kok ada lagi disitu? Ha ha, niat isengku tiba-tiba muncul lagi. Gigi motorku kuturunkan satu dan gas kutarik lebih dalam, treeeeennnnngg.......
“Alip!” Seseorang memanggilnya.
Ia menoleh dan melangkah, DERR!!
Alip terkapar, diam! Aku menabraknya. Aku panik dan hanya diam terpaku. Orang-orang mulai berkerumun, sebagian membopongnya, sebagian memandangiku dengan bermacam makna. Mereka berlalu dan aku masih terpaku. Aku mengendarai sepeda motorku pulang. Aku sangat takut, aku cemas.
“Yah, aku nabrak orang.” Kataku pasrah
“Apa?”
“Aku nabrak orang.”
“Sekarang dimana dia?”
“Dibawa orang-orang.”
“Apa? Kamu tidak membawanya ke rumah sakit?”
“Aku takut yah, aku panik.”
“Massya Allah! Irina!”
Kami berdua bergegas menuju ruang tempat Alip dirawat, setelah menanyakannya pada petugas administrasi.
Tubuh itu terkapar, lebih parah dari keadaanku dulu. Ada dua infus, satu bening atu merah, pasti darah. Ada juga selang oksigen. Tubuh itu hanya diam.
Ayahku menyentuh lengannya, memandangi wajahnya. Lalu kulihat ada air mengalir dari sudut matanya. Setelah itu, ia jatuh berdebam, pingsan!
Setelah siuman, ayah memanggilku yang tengah duduk menggigil, pucat disudut ruangan itu. Kami duduk di kursi tamu kamar itu.
“Ir, kalau sampai terjadi apa-apa dengannya, ayah tidak dapat memaafkanmu!”
Aku hanya diam.
“Kamu tahu lukisan itu? Itu dia yang memberikannya. Dia anak teman ayah dulu, teman yang dekat sekali, sudah seperti saudara. Setelah sekian lama tidak ada hubungan, ayah bertemu dengan Alip anaknya yang kebetulan mengajar lukis di sekolah Adam. Begitu Alip tahu siapa ayah, dia memberikan lukisan itu sebagai tanda terjalinnya lagi tali silaturrahmi. Malamnya ayah menelepon ayahnya dengan nomor yang diberikan Alip. Ayahnya sangat gembira dan sangat berharap agar ayah dapat jadi orang tua pengganti selama ia disini. Ia berharap ayah dapat menjaganya.”
“Alip,” Ayahku meneruskan cerita tanpa melihat padaku.
“Namanya Alip Gardner, sebenarnya ia bukan mahasiswa ditempatmu. Ia seorang Mahasiswa Universitas Leiden Belanda. Ayahnya duta besar disana. Ia dikirim ke Indonesia hanya untuk mengikuti kuliah beberapa semester saja. Dan Alip memilih di sini, di kampung halaman ayahnya. Ayah telah berjanji untuk menjaganya. Ternyata ayah tidak bisa menepatinya. Anakku sendiri telah kencelakainya. Ayah tidak tahu apa yang harus ayah katakan pada Zain, ayahnya, sahabatku.”
Aku melihat ada tetesan air lagi disudut matanya. Aku tidak pernah melihat ayah menangis seperti ini sebelumnya. Pasti kesedihannya tak terperi, tak terkirakan. Dan itu penyebabnya adalah aku.
“Ir, setelah ini, kamu tidak akan pernah naik sepeda motor lagi.” Ayahku berkata tegas, lalu pergi entah kemana, meninggalkanku sendiri.
Aku hanya duduk termangu dalam kekosongan. Seorang perawat lewat. “Sus, siapa tadi yang membawanya kemari?”
“Oh, teman-temannya mbak. Sebelumnya diletakkan di UGD, lalu dipindah ke sal. Trus Kedubes Belanda memintanya dipindahkan ke sini. Semuanya ditanggung Kedubes Belanda mbak. Tidak usah khawatir. Mbak pacarnya ya?”
Pacarnya? Aku pembunuhnya!
“Oh bukan-bukan”
“Kelihatannya sedih sekali, maaf mbak,” Perawat itu berlalu.
Pantas aja ia ditempatkan diruangan yang paling bagus, seperti kamar hotel berbintang lima.
Hari ini aku melukai dua orang. Seorang aku lukai tubuhnya, Alip, dan seorang lagi aku lukai hatinya, Ayahku. Aku sungguh tidak tahu cara mengobatinya. Aku hanya menunggui Alip siang dan malam. Aku hanya duduk di sisi tempat tidurnya. Kadang sampai tertidur. Kadang sampai tertidur, terbangun tertidur lagi. Hingga suatu ketika ia membuka matanya. Aku sangat gembira, ia tidak meninggal.
“Maafkan aku.” Itulah kata yang sanggup kuucapkan.
“Iya.” Setelah itu ia tertidur lagi dan aku hanya bisa menangis.
“Yah, Alip sudah siuman.” Aku menelepon ayahku. Yang menerima ibu. Sejak kejadian, ayah tidak keluar-keluar kamar, hanya berdoa terus menerus, siang dan malam.
***
Semuanya sudah kembali seperti sedia kala. Alip sudah mengajar les lukis lagi, aku sudah kuliah lagi. Ayahku telah mengajukan permohonan maaf dengan resmi kepada orang tuanya Alip. Aku setiap hari mengantar Adam ke TK-nya. “Lip, aku minta maaf.” Aku mngucapkannya sambil Alip terus mengerjakan lukisannya. “Iya.”
“Kamu mau jadi temanku?”
“Aku sudah jadi temanmu.”
Dingin sekali jawabannya
“Mm, kamu mau jadi......Eh, kamu sedang melukis apa?”
“Melukismu.”
Ia memang sedang melukis sesorang yang sedang tergolek lemah di tempat tidur rumah sakit lengkap dengan selimut putih garis-garis kelabu, gantungan infus, thermos air, buah dan piring buburnya.
“Lip, boleh aku menganggapmu lebih dari sekedar temanku?”
“Maksudmu?”
“Aku mencintaimu.”
Dia berhenti menggoreskan krayonnya. “Ir, kamu tidak mencintaiku. Kamu hanya merasa bersalah padaku.”
“Ooh.” Kata-kata itu telah menembus hatiku, meninggalkan gores yang pedih.
Beberapa hari setelah itu,
“Ir, Alip tadi menitipkan ini untukmu, sepertinya lukisan, minggu depan ia akan kembali ke Belanda.” Ayahku menyerahkan lukisan yang masih terbungkus itu.
“Ooh,” Aku mambawanya ke kamar dan membukanya. Lukisan orang sakit. Yang sedang terkapar itu aku. Tetapi lukisan itu tidak selesai. Orang yang sedang duduk di pinggir tempat tidur, yang sedang menunggui sisakit hanya kertas putih saja. Kosong! Sama kosongnya dengan hatiku ketika itu.
Lukisan setengah jadi itu diam di sudut ruangan, aku sedang berdoa.
Allah Tuhanku yang maha melihat, melihat sampai ke lubuk hatiku, Aku tahu aku banyak sekali berdosa, aku tahu aku banyak sekali bersalah, hingga Engkau memerlukan mengirim seseorang untuk membenahinya. Bila engkau ingin menghilangkan sombong dari diriku, ia telah meluruhkannya. Bila engkau menginginkan ia menghilangkan tinggi hatiku, ia telah melenyapkannya. Bila engkau menginginkan aku lebih dekat padaMu, dia telah melakukannya. Dia telah menyadarkanku kalau diri ini kecil dan tidak berarti ya Allah. Engkau telah membulak-balik hatiku dengan cara yang tidak terduga sama sekali. Bila hanya untuk itu maka ia Kau kirim padaku, maka dia telah melakukan semuanya. Dan dia akan segera pergi. Bila Kau izinkan, perkenankanlah aku memohon padaMu agar Kau tunda waktu kepergian itu, untuk memberikan waktu bagiku menemaninya, menghapus salah-salahku padanya yang rasanya tak termaafkan itu. Allah, aku tidak malu-malu mengakuinya, aku mencintainya........
“Kamu akan segera pergi?”
“Mungkin hari Minggu.”
“Ooh, setidaknya kamu dapat menyelesaikan dulu lukisan ini.” Ketika itu Alip berpamitan padaku di rumah.
“Siapa yang kau harapkan duduk di situ?” Ia menunjuk ruang kosong yang berwarna putih.
“Kamu tahu sendiri, siapa yang waktu itu duduk disitu.”
“Kamu menginginkan monyet jelek yang duduk disitu?”
“Iya, tapi mohon tidak mengatakannya seperti itu lagi.”
“Ir, aku mencintaimu.”
“Tidak, kau hanya kasihan padaku.”
“Tidak aku bersungguh-sungguh!”
“Sejak kapan?”
“Sejak kemarin.”
“Sejak kemarin?”
“Iya, sejak kemarin, sejak kemarinnya lagi, sejak dulu.”
Aku menangis.
“Ir, kamu kalau menangis, bagus juga kalau dilukis.”
“Pakai krayon?”
“Tidak, krayon tidak bisa dipakai melukis di dinding hatiku.”
“Ooh.”
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

  1. bagus.... banyak pesan moral... bagus... bagus...!

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)