Selasa, 29 Agustus 2006

"meninggalkan Zal"

“Sebelum kau benar-benar pergi. Sebelum aku benar-benar meninggalkanmu, ucapkan satu kata yang tulus, bahwa kau mencintaiku sepenuh hatimu. Dan aku akan merasakan kau selalu disini”.
Mekar menggamit tangan Zal dan meletakkan tepat didadanya, ia yakin laki-laki itu merasakan detak jantungnya yang kencang. Juga air matanya yang menghangat. Mekar juga yakin kalau laki-laki itu bias memahami apa yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Memang tidak mudah melepas cinta dengan cara seperti ini, meletakkannya di satu tempat yang jauh lalu meninggalkannya tanpa keihklasan dan kerelaan, hanya kesadaran logika sajalah yang mendasari semua itu. Hatinya pasti sakit dan terkikis pelan-pelan. Akankah ia patah hati?
“Hari ini Jumat, tujuh Mei dua ribu sepuluh, genap dua puluh lima tahun usiaku. Aku rasa sudah cukup aku belajar bagaimana mencintai dari mu. Aku sudah cukup belajar bagaimana caranya menyayangi dan mengasihi seseorang. Dan sepertinya memang sudah cukup kau mengajariku tentang makna cinta yang sesungguhnya Zal”.
Mekar merebahkan kepalanya kepundak Zal, tangannya terus menggenggam jemari yang panjang dan besar itu. Mungkin ia tak perlu berkata lagi, toh semuanya telah menceritakan dengan jelas dan rinci. Matanya merah dan berair satu pertanda bahwa ia tak menginginkan semua ini terjadi. Tangannya gemetar, hatinya bergetar, seluruh persendiannya lemas dan seolah tidak berfungsi.
Zal merapatkan pelukannya, inilah detik-detik paling mendebarkan selama waktu yang mereka jalani. Tak pernah ia merasakan setegang ini sebelumnya. Ia hamper tidak punya kata-kata, bahkan untuk menenangkan hatinya sendiri.
“Mekar, kamu tetap akan menjadi adikku, adikku yang manis, adikku yang baik, seperti janji kita dulu kelak jika cinta ini harus berakhir. Kita tetap akan selalu bertemu kapan saja kita mau dan melepas rindu dengan cara yang berbeda. Satu hal yang tidak pernah aku sesali adalah mengenalmu dan aku jatuh cinta padamu.” Suara Zal patah-patah. Terdengar berat dan parau. “lima tahun bersamamu rasanya seperti lima hari, aku masih ingin terus merasakan kehangatan dan kelembutan jiwamu, aku masih ingin mendengar kau memanggil namaku saja, Zal…meski usia kita terpaut sangat jauh. Aku masih ingin merasakan cemburu mu ketika aku menceritakan pacar-pacarku yang dulu. Aku masih ingin disisa-sisa waktu kepulanganku kau menemaniku dan mencandaiku…”.
“Tidak akan pernah bias lagi, Zal”. Sela Mekar
“Inilah penghujung dari pelajaran cinta yang sebenarnya, kalau kau merasa sedih dan patah hati aku pun sama. Tapi kita tetap melanjutkan hidup…”.
“Zal…”.
“Ya?”.
“Ternyata aku tidaklah sekuat yang kubayangkan selama ini, lima tahun waktu bersama telah merenggut semua cinta yang kupunyai. Kemudian aku menanggalkannya dan mencari cinta yang lain. Aku tidak yakin bias mencintai yang lain seperti aku mencintaimu…aku juga tidak tahu apa yang lain itu bias seperti mu Zal, yang bias mengajarkan cinta kepadaku dengan sesungguhnya…aku tidak tahu Zal”.
Tubuh Mekar terguncang, bibirnya bergetar. Sungguh tak pernah terbayang sebelumnya sisa waktu cinta itu akan seperti ini ujungnya. Harus dihancurkan berkeping-keping, harus terserak-serak.
“Kamu gadis terkuat yang pernah ku kenal. Kau telah berhasil melewati waktu lima tahun itu dengan sangat luar biasa sekali. Kau telah lalui malam-malammu dengan gelegak rindu dan letupan cinta sendirian, tanpa aku. Aku tidak selalu ada didekatmu ketika kau memerlukanku, dank au selalu setia untuk ku. Bukankah itu arti kekuatan yang sesungguhnya? Ketika logika mampu mengendalikan rasa dan ego. Selama lima tahun, coba hitung berapa kali kita pernah bertemu? Kau kuat saying ku, gadisku, adik kecilku yang manis dan lembut…kau kuat”.
“Zal…aku mencintai mu”.
“Aku juga. Sangat”.
“Boleh aku memeluk mu untuk yang terakhir kali?”
“Apa aku pernah melarang gadisku memelukku?”.
Keduanya terdiam, bahasa tubuh merekalah yang berbcara. Lewat detakan-detakan jantung dan tubuh yang tergoyang akrena isakan. Angin bertiup lembut masuk dari jendela yang menghadap ke pantai. Menyapu lembut wajah keduanya dengan mesra. Mekar melepas pelukannya, ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkan ke Zal.
“Apa ini?”
“Memoar. Kau tahu Zal, lima tahun waktu bersamamu telah memberikan banyak inspirasi bagiku dan jadilah aku seperti sekarang ini. Di dalam memoir ini ada surat-surat cinta kita yang aku kumpulkan, juga ada beberapa kartu yang kau kirim untuk ku. Ada potongan pesan pendek mu, ketika kau marah. Setiap detik bersamamu adalah keistimewaan karenannya aku tidak ingin menghilangkannya…”.
“Terima kasih…”.
“Sama-sama. Aku harus pergi Zal. Waktuku sedikit lagi. Setelah ini mungkin entah kapan lagi kita ketemu, tapi kalau aku rindu aku akan mengunjungi tempat ini dan menebus rinduku dengan cara yang tidak biasa itu…”.
Mekar bangkit lalu membenarkan letak kerudungnya yang bergeser. Matanya masih sembab dan merah. Hidungnya berair dan suaranya serak. Zal masih terpatung menatap memoir yang bersampul biru itu. Ada nama mereka yang terukir dengan huruf latin berukuran 16. cantik sekali. Tampak indah dan bermakna. Zal melihat bayangan Mekar dari cermin, ada luka lebar yang menganga terpancar dari sorot mata gadis itu.
“Aku pergi honey…mulai sekarang aku hanya adik bagi mu”
“Mekar, tidak adakah waktu sesaat lagi untuk ku?”
Mekar menghentikan langkahnya lalu menoleh ke Zal yang tertunduk lesu di tepi ranjang. Matanya sendu. Ia tampak seperti berbicara tapi tidak jelas apa yang dia katakana. Mekar memeluknya dan merebahkan kepalanya keperutnya, ia membelai dan mencium kepalanya berulang-ulang.
“Zal, sisa waktu kita telah habis. Sekarang pulanglah. Anak-anak pasti sudah menunggu mu dirumah. Bukankah kau sudah berjanji pada mereka untuk membawa mereka jalan-jalan hari ini? Minggu depan kau sudah harus kembali ke tempat mu bekerja dan baru pulang bulan berikutnya. Manfaatkan sisa waktu mu dengan anak-anak dengan baik”.
“Terimalah ini…”
“Apa ini?”
Zal tidak menjawab, ia menarik tangan Mekar dan melingkarkan cincin itu di jari manisnya.
“Jangan lepas dan selalulah memakai nya..”
“Baiklah...terima kasih banyak. Sekarang pulanglah kerumah…”
Mekar mencium keningnya, lalu pergi dan tak menoleh lagi.

***
Apakah selalu terlarang mencintai seseorang yang sudah tidak sendiri lagi? Apakah selalu hina mencintai laki-laki yang tidak tepat? Haruskah ia menghukum diri atas semua itu? Lalu bagaimana caranya?
Kalau rasa bias diarahkan. Kalau cinta bisa ditentukan, ia pun tidak ingin mencintai laki-laki itu, yang usianya terpaut 18 tahun diatasnya. Tapi sayangnya cinta dan perasaan tidaklah seperti jarum jam yang tidak mungkin berputar terbalik. Dan waktu membawanya pada cerita ini, ia mencintai Zal. Dan Zal membalas cintanya.
Mekar bangkit dari tidurnya, ia membuka note booknya dan iseng membuka inbox di emailnya. Ada pesan masuk, dari Zal.

Gadisku,

Sebelum kau benar-benar pergi
Sebelum aku benar-benar meninggalkanmu
Ucapkan satu kata yang tulus
Bahwa kau mencintaiku
Sepenuh hati
Dan aku akan merasakan
Kau selalu disini
Dihati ku

Zal

Mekar melihat cincin yang melingkar dijari manisnya, ia tersenyum. “ kalau orang melihat ada cincin dijari kananku…itulah cincin dari Zal”.
Dan malam semakin tua…




Rumah Adam
09:35 – 11:15 wib
29/08/06
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)