Jumat, 17 Juli 2009

Dialog Dua Hati

Aku menyebutnya malaikat kecil. Matanya selalu bercahaya seperti lilin. Memberi kedamaian dan menenangkan. Senyumnya lepas. Mempesona siapapun yang melihatnya.

Malaikat kecilku, berdiri gagah berpenyangga kaki yang kokoh. Tangannya menjuntai mungil. Seolah ingin mentasbihkan bahwa ia adalah raja bagi pemilik hati. Pun kepadaku!

Itu adalah beberapa tahun yang lalu. Aku melihatnya pada selembar gambar yang diperlihatkan oleh seseorang. Tetapi ia begitu nyata dalam ingatanku. Ingatan yang terus tumbuh. Dan berkembang. Lalu menjadi dewasa.

Malaikat kecilku telah menjadi pangeran! Pangeran yang gagah. Bahu kekar serupa perisai yang siap melindungi siapapun. Dada bidang sebagai pertanda kelapangan hatinya yang penuh cinta kasih. Tangannya masih menjuntai. Matanya masih berbinar. Ia berdiri di hadapanku. Dengan senyum berderai memancarkan kedamaian.

“Tante Joana?”

Aku terhenyak. Tak menyangka ia mewarisi suara berat ayahnya. Aku berusaha tersenyum. Namun kekakuan dan kegamangan telah dulu menyublimku. Dan aku hanya bisa terpaku. Dengan mata menatapnya tanpa bisa berkedip lagi.

“Tante Joana?”

Ia mengulang. Kembali aku terhenyak. Aku gagap. Tak tahu mau menjawab apa.

“Tante, aku Saleem. Tante tidak lupa padaku kan?”

Saleem. Ya Saleem. Aku tak pernah melupakanmu. Tepatnya aku tak pernah mengingatmu untuk hadir di hadapanku. Aku hanya mengingatmu sebatas dalam ingatan saja. Aku telah merawatmu dalam ingatanku. Membesarkanmu dengan imajinasiku. Tetapi kau hadir dalam dunia nyataku.

“Bagaimana kamu tahu kalau aku Joana?”

Saleem tak langsung menjawab. Ia mengeluarkan sesuatu dalam saku celananya. Selembar foto lama yang telah buram.

“Ini tante.”

Aku hampir tak bisa berkata-kata. Mataku berkaca-kaca melihat gambar itu. kepalaku menggeleng-geleng sebagai wujud rasa tak percayaku pada apa yang tengah kurasakan.

Kembali aku menatap mata bening milik Saleem. Meminta penegasan atas apa yang ditunjukkannya kepadaku.

“Aku mencurinya dari dompet ayahku, belasan tahun yang lalu.”

“Saleem....” suaraku tercekat.

“Dan aku menyimpannya, dengan harapan suatu hari aku bisa bertemu dengan perempuan dalam foto ini. Tante Joana.”

“Saleem...”

“Ketika itu aku tidak mengerti mengapa ada dua foto di dalam dompet ayahku, yang jelas satu foto ini bukan foto ibuku.”

“Oh...Saleem, aku...aku...”

“Ya tante, aku tidak ingin menyalahkan tante. Tapi sejak itu aku terus menyimpan tante dalam ingatanku, aku merekamnya dan mencoba memperbaharuinya setiap saat.”

“Saleem....aku, aku sudah lama tidak bertemu dengan ayahmu.”

Aku mencoba tersenyum. Sekedar untuk menghilangkan kekagetan diriku.

“Aku tahu tante. Karena itu aku datang kemari. Untuk meminta maaf kepada tante.”

“Meminta maaf untuk apa Saleem?”

“Tante, boleh aku duduk?”

Oh Tuhan, bahkan aku sampai lupa mempersilahkan tamuku duduk. Aku jadi serba salah. Tak siap dengan kejutan sebesar ini. Kejadian yang sama sekali tak pernah terfikir olehku.

“Maaf Saleem, tante lupa. Silahkan duduk. Sebentar, tante buatkan minum dulu ya. Oh ya, apa kamu masih suka minum coklat panas tanpa gula?”

“Tante tahu minuman kesukaanku?”

Mata Saleem mengerjap-ngerjap. Ia tampak bersemangat. Bibirnya menyungging senyum.

Aku mengangguk. Lalu segera ke dapur.

“Ayahmu sering menceritakan tentangmu Saleem.” Kataku sekembali dari dapur. Dengan segelas coklat panas tanpa gula dalam nampan kecil.

Aku memandang wajahnya yang oval, alisnya tebal dan hitam. Matanya bening dengan bola yang berkilau. Ada yang aneh berdesir dalam diriku. Rasa ingin memeluknya yang begitu kuat. Sayang, ia tidak lahir dari rahimku.

“Tapi mengapa ayah tidak menjadikan tante sebagai ibu bagiku?” tanya Saleem tiba-tiba.

Aku tercengang. Tak menyangka ia akan melontarkan pertanyaan itu padaku. Dan kali ini aku benar-benar tak bisa menahan air mataku.

Pelan kusentuh wajah bersihnya. Saleem hanya diam menunggu jawabanku. Kuberi senyum padanya sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja.

“Maaf tante, aku tak bermaksud melukai perasaan tante.”

“Tidak Saleem, tante baik-baik saja.”

“Tante....kenapa? apa tante tidak pernah menanyakan itu pada ayah?”

Saleem! Bagaimana aku harus menjelaskannya. Apa yang harus kukatakan padanya? Semua itu cerita belasan tahun lalu. Untuk apa dihadirkan kembali. ah....

“Karena tante tidak sehebat ibumu sayang, tante tidak seluar biasa ibumu.”

“Tante bohong.”

“Saleem.”

Aku menatapnya. Ia membalas menatapku. Beringsut ia dari duduknya lalu meraih jemariku yang sedikit bergetar.

“Tante mencintai ayahku kan?” tanyanya pelan. Aku menunduk, tak ingin kembali bersitatap dengannya. “Mungkin tidak untuk sekarang, tapi ketika itu tante sangat mencintai ayahku kan? Begitu juga sebaliknya. Benar kan tante?”

Bahkan sampai sekarang Saleem. Lirihku dalam hati.

“Saleem. Jangan paksa tante. Tante tak ingin mengingat itu lagi.”

“Tante, bila iya mengapa tante menolak ketika ayah mengajak tante untuk menikah?”

“Oh...Saleem...jangan paksa tante.”

Saleem memegang tanganku kuat.

“Tante....jawab dengan jujur.”

Suara Saleem memelas. Matanya memerah.

“Karena tante tidak ingin menyakitimu sayang.” Tangisku pecah. Air mataku berhamburan. “Setiap kali melihat fotomu tante merasa kamu adalah anak tante sendiri, yang harus tante jaga, tante rawat, kamu tidak boleh tersakiti, oleh siapapun Saleem. Juga oleh tante. Tante juga tidak tahu mengapa tante merasa sangat dekat denganmu. Padahal kita tidak pernah bertemu sebelumnya.”

“Tapi mengapa tante mau menyakiti diri tante sendiri?” cecar Saleem.

“Kamu tidak mengerti sayang.” Aku kehabisan kata untuk menjelaskannya.

“Aku mengerti tante.”

“Kamu tidak mengerti apa-apa. Kamu masih terlalu muda untuk bisa mengerti persoalan ini.”

“Lalu mengapa tante tidak menikah dengan orang lain?”

“Saleem?!”

Aku benar-benar tak menduga dengan pertanyaan itu. Dan aku tak punya jawaban untuk itu. Mengapa? Aku sendiri tak pernah tahu mengapa itu bisa terjadi. Aku juga tidak pernah tahu apa aku masih mempunyai cinta untuk orang lain.

“Hidup ini rumit Saleem, tidak semua hal kita harus mengetahuinya. Cinta itu sukar untuk dimengerti dan tidak bisa diprediksi. Tetapi, ketika kita telah menikahkan jiwa kita dengan jiwa seseorang, dan ketika kita telah mentasbihkan seseorang dalam ingatan kita, ketika itulah kita tak lagi bisa memaknai kesakitan.”

“Tante?”

“Ya sayang.”

“Sekarang aku tahu mengapa ayah tak pernah berhenti mencintai tante.”

Aku memeluk Saleem dengan erat. Sejak belasan tahun yang lalu aku telah kehilangan jiwaku. Tetapi hari ini Tuhan mengirimkan jiwa yang lain kepadaku. Jiwa yang aku tahu tak akan pernah meninggalkanku. Dan jiwa yang senantiasa memancarkan cahaya dalam hidupku.



23:23 pm

16 Juli 2009

Inspired by M

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)