ilustrasi by kaskus |
Aku jadi teringat beberapa episode di masa kecilku, yang seolah-olah nggak jauh berbeda seperti yang kulihat di film itu. Saat sekolah misalnya, aku sering sekali memakai topi dan dasi yang miring, sepatu yang terbalik, susah membedakan angka tiga (3) dengan huruf Em (m). Guruku sering bilang kalau huruf-huruf yang kutulis seperti huruf Cina. Pertengahan Januari lalu aku kembali bertemu dengan guru tersebut. Komentarnya sungguh-sungguh membuatku terharu. "Uroe jeh diteumuleh lage huruf Cina, jinoe ka carong jih ngen tanyoe." Kira-kira artinya begini "Dulu menulisnya seperti huruf Cina, sekarang lebih pandai dia dari kita (guru-red)." Aku benar-benar terharu.
Aku juga ingat dua temanku Mulianto dan Salamun. Usia mereka di atasku, malah yang namanya Salamun ini sudah sekolah dua tahun sebelum aku masuk sekolah. Tapi berkat ketekunanku (maksudnya Salamun tinggal kelas) kami akhirnya bisa sekelas, belakangan aku menyalip Salamun. Seingatku Salamun tak sempat menamatkan SD-nya.
Salamun dan Mulianto ini sama-sama tak bisa membaca, nilai pelajarannya selalu jeblok. Kalau disuruh membaca di kelas, wajah Mulianto selalu terlihat panik dan berkeringat. Ia pun tergagap-gagap mengeja huruf sampai kami bosan menyimaknya.
Aku beruntung sebab mak-ku rajin sekali mengajariku. Singkatnya aku bisa belajar nulis, berhitung, membaca dan mengaji di rumah. Diajari sama mak.
Setelah nonton film India itu, aku baru ngeh jangan-jangan aku, Salamun dan Mulianto adalah anak-anak yang mengalami disleksia. Yaitu gangguan yang membuat penderitanya susah mengenali huruf dan membedakan bunyi-bunyi yang kedengarannya hampir sama.
Salah seorang adik sepupuku, kuduga juga mengalami disleksia. Misalnya dia tak pernah bisa menyelesaikan PR matematikanya. Dia juga malas sekali membaca atau mengulang pelajaran. Tapi kalau sudah disuruh gambar walau jelek tetap dijabanin sama dia.
Bakat yang paling menonjol dalam diri adik sepupuku ini adalah utak-atik. Semalam misalnya, menjelang pukul sepuluh malam listrik tiba-tiba padam. Tak lama berselang ia mengeluarkan sebuah benda yang bisa mengeluarkan cahaya. Benda apakah itu? Bola lampu mini yang sudah dirakit menjadi alat pencahayaan sederhana, memakai tenaga baterai jam. Luar biasa bukan? Beberapa waktu kemudian dia kembali merakit alat itu, hasilnya benda yang dirakitnya itu kini memakai saklar. Jadi untuk menyalakan bola lampu mini itu tidak perlu ditekan dengan tangan, cukup menggunakan saklar yang besarnya seujung jari kelingking. Saat kutanya dari mana ia mendapatkan 'sakelar' itu, dengan santai dia menjawab "Dapat di jalan pas pulang sekolah terus disimpan, kalau perlu tinggal dipakai."
Amazing!
Selain hobi mengutak-atik benda-benda bermuatan listrik, bocah kelas enam SD itu juga senang mengutak-atik sepedanya. Ia memasang sendiri tempat menaruh botol air di bak sepeda, mengganti cagak yang patah atau mengganti roda sepeda. Sepeda-sepeda temannya juga tak jarang dipermak olehnya. Pokoknya tak bisa diam. Aku melihat ini hal yang luar biasa. Seorang anak kecil berusia sekitar sebelas tahun sudah mampu menunjukkan bakatnya.
Sayangnya, ibunya seperti menutup mata dengan hal ini. Seperti tidak merasa bangga kalau anaknya jago utak-atik gitu. Padahal bukan tak mungkin suatu hari nanti dia jadi seorang mekanik yang sukses.
Pernah suatu kali kubilang pada ibunya untuk tidak khawatir. Sebagai orang tua mestinya beliau mendorong anaknya menjadi ahli di bidang yang disukainya. Kukatakan juga bukan berarti dia senang utak-atik sepeda kelak bakal jadi montir sepeda. Bagaimana kalau dia jadi 'montir' pesawat terbang? Who know?
Pernah juga dia menciptakan 'alat pemotong' rumput mini. Dibuat dari generator mobil-mobilan miliknya yang sudah rusak. Matanya adalah pisau silet. Benar-benar mirip aslinya karena bisa berputar-putar dan bisa digunakan untuk 'membabat' satu dua rumput di halaman. Kreatif bukan?
Nah, lagi-lagi saat aku menonton film Taare Zameen Par ini, aku melihat sosok si Ishaan itu kurang lebih mirip dengan adik sepupuku. Sering asyik sendiri dengan benda-benda kecil yang dimilikinya, suka memungut benda-benda yang menurutnya aneh yang ditemukan di jalan, berlama-lama di kamar mandi, atau berbicara sendiri dengan ikan atau kucing.
Aku juga mengajak ibunya nonton film ini bareng waktu itu. Cuma ingin menunjukkan bahwa setiap anak punya potensi beda-beda. Bukan apa-apa, selama ini cukup sering aku mendengar dia membanding-bandingkan si adik dengan kakaknya yang pintar di bidang eksak. Kadang si adik suka protes, tak suka dibanding-bandingkan. Tapi, orang tua kadang merasa bahwa anak adalah 'miliknya' sehingga bisa melakukan apa saja sesuka hatinya. Cobalah untuk mengerti bahwa anak-anak perlu dilihat sebagai subjek, bukan objek!
Ponakan mira jg ada yg gitu..bisa jadi disleksia jga ya..danke infonya :)
BalasHapusaih sejak kapan itu jadi Rahmanovic? :-D yaa bisa jadi, itulah kenapa menjadi orang tua ga gampang hahahaaa
BalasHapusSejak sadar pake nama asli di blog :D . Iya ya..
HapusWaah mantap x sepupu kk tu.. kasian ya kalau du bnding2kan... smga wktu besar jd org sukses jg kyk kak ihan :)
BalasHapusiya Fina, begitulah kadang-kadang orang tua ya.... maunya anak nilai bagus semua untuk matematika, ipa, haaahhhh
Hapuskak ihan..
BalasHapussikap over protektif dapat mematikan kreatif pada anak anda
waspadalah,, waspadalah..
;)
pesan bang napi harus diingat baik-baik ini
Hapusjadi pingin nanya juga apa saya dulunya suka terbalik pakai sepatu. #eh
BalasHapus