Selasa, 25 Maret 2014

Surat Terakhir

ilustrasi
Ini hari ke dua puluh tiga aku tak melihat beranda jejaring sosialmu. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa sangat rindu padamu. Sangat. Aku ingin melihat biji matamu yang cokelat. Juga senyummu yang ranum menggoda. Tiba-tiba aku merasa sangat menyesal telah mem-block akun jejaring sosialmu dua puluh tiga hari yang lalu. Mestinya itu tak kulakukan bukan? Bukan cuma akun, aku juga memblock nomormu di handphoneku. Selebihnya adalah diam yang panjang.

Hari ini, ketika rindu tiba-tiba menyergap begitu hebat. Aku teringat padamu. Aku mengecek nomor yang masuk ke daftar blacklist di handphoneku. Ada 75 panggilan masuk, semuanya dari nomormu. Mungkin kau juga meninggalkan pesan, tapi karena terlanjur masuk daftar hitam aku yakin pesan-pesan itu hanya tersangkut di awang-awang.


Hatiku semakin berdebar. Tak sabar rasanya ingin segera membuka komputer. Membuka akun di jejaring sosial lalu membatalkan namamu dari nama-nama yang selama ini masuk daftar hitam. Yap... hanya perlu dua menit untuk melakukan semuanya.

Tapi apa yang kulihat saat ini? Mengapa ada banyak ucapan duka cita di berandamu? Mengapa ada karangan bunga? Mengapa banyak sekali orang-orang yang bersedih? Mengapa mereka mengatakan selamat berpisah, selamat jalan, dan selamat tinggal padamu? Ada apa ini?

Aku juga ingat sejak 23 hari lalu email yang biasa kita pakai untuk bertukar kabar tak pernah kubuka. Entahlah, mungkin aku memang kesal padamu. Dan tak berharap kau akan mengirimkan sepucuk atau dua pucuk surat cinta yang aneh padaku. Seperti yang biasa kau lakukan di pagi hari. Katamu, agar hari-hariku selalu berwarna. Tapi ternyata tidak, ada 20 surat yang masuk dari alamat yang sama. Namamu.

Segera kubaca satu persatu pesan-pesanmu. Seperti biasa, kau selalu tak pernah kehabisan cara untuk menggodaku. Dan, sampailah aku di surat terakhirmu. Tertanggal 20 Maret, kau kirimkan pukul dua dini hari. Ini tak biasa, aku tahu kau sering bergadang jika sedang banyak pekerjaan. Tapi aku juga tahu, kau tak terbiasa menulis untuk waktu selarut itu. Kau bukan penulis. Kau mesin!

Dear Hani,

Kurasa aku tak perlu pengantar untuk mengatakannya padamu. Aku berusaha meneleponmu tapi tak pernah bisa. Aku membuka jejaring sosialmu tapi sepertinya kamu sudah memblokir-ku. Aku mengirimkan banyak sekali pesan di email, tapi tak ada satupun yang kau balas. Tidak seperti biasanya, mengapa tiba-tiba kau begitu keras hati?

Aku tahu aku sudah mengecewakanmu. Tapi bukankah biasanya kau sangat pemaaf? Bukankah kau mencintaiku? Bukankah kita saling mencintai?

Aku membaca suratmu yang kau kirim pada 1 Maret lalu. Aku membacanya berulang-ulang. Terus menerus. Itu surat terakhir yang kau kirim untukku. Aku suka kata-katamu yang selalu indah. Kemarahan yang kau bungkus lewat kata-kata yang manis. Aku tahu kau sedang mengingatkanku tentang sesuatu. Tentang mimpi-mimpimu yang tak terbatas. Hei, aku ingat permintaanmu beberapa waktu lalu. Kau memintaku membawakan segenggam pasir untukmu. Mengapa, mengapa kau suka sekali hal-hal yang sangat abstrak?

Aku akan mengirimkanmu surat setiap hari, sampai kau membalas suratku. Kau tahu, aku ini hanya seseorang yang selalu berteman dengan benda. Aku sedikit sekali berinteraksi dengan manusia. Kau tahu aku sulit menuliskan kata-kata yang indah. Tapi hari ini, aku membuka surat-surat yang pernah kau kirimkan padaku. Aku membaca kalimat-kalimatnya, aku ingin melakukan hal yang sama padamu. Aku ingin kau tahu, bahwa surat-suratmu, sayangmu, cintamu, rindumu, telah mengubah mesin ini menjadi manusia. Maafkan aku.

Yours
Zoro

Aku tak percaya kau masih meninggalkan pesan seindah itu. Berkali-kali kulihat berandamu. Foto-foto lama milikmu kembali bermunculan satu persatu. Semuanya lengkap dengan pesan perpisahan. Banyak yang merindukanmu. Bukan hanya aku. Mereka juga kehilangan. Sama seperti aku. Banyak yang tak percaya, apalagi aku. Apa aku harus berharap ada keajaiban terjadi?

Apa aku harus menangis? Apa menangis akan mengembalikanmu? Mengapa kau teledor kali ini? Bukankah kau yang selalu bilang jika pekerjaanmu terlalu beresiko. Mengapa kau abai? Mengapa? Apa kau lupa ada aku yang selalu menunggu kabar baik tentangmu?

Maret belum lagi usai, tapi cerita ini sudah usai dengan sendirinya. Kau ingat, Maret adalah awal kita menaruh cinta bertahun-tahun silam. Tentang cinta yang tumbuh diam-diam. Kini juga berakhir dengan diam. Selamanya bisu.[]

23 Maret 2014
23:55 WIB


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

4 komentar:

  1. 75 panggilan? dahsyat kali, kak aja kalau miscall orang 5 kali aja udah pegal, ini betul2 berkepentingan (*edisimaksa

    BalasHapus
  2. Aaah pedih sekali ...
    Ini ungu atau hitam?

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)