Minggu, 30 April 2017

Happy Graduation dan Selamat Berjuang My Beloved Sista

gaya selfie generasi milenials


KUSEMPATKAN untuk menuliskan cerita ini di sela-sela bekerja di akhir pekan. Maklum, aku tergolong 'bukan orang biasa', di mana bekerja di saat orang lain libur, dan tetap bekerja saat orang lain bekerja. :-D #abaikan #justjoke

Yang benar adalah, aku sengaja menuliskan ini untuk memberi semangat kepada adik bungsuku yang saat ini sedang berjuang di step pertama menuju gelar sebagai mahasiswa.

Baiklah, akan kuperkenalkan sedikit tentangnya. Namanya Nurul Muhdiah. Lahir 13 Oktober 1999, saat gejolak konflik di Aceh sedang 'hot-hotnya'. Satu hal yang mengingatkan pada peristiwa kelahirannya adalah Referendum. Bahkan salah satu tetangga kami memberikan nama anaknya 'Referenda' untuk mengenang peristiwa bersejarah itu.

Back to Diah, si bungsu ini baru saja tamat SMA. Kamis, 27 April lalu dia diwisuda dari SMA Unggul Nurul Ulum, Peureulak, Aceh Timur. Btw sejak enam tahun terakhir dia mondok di sana, tapi entah kenapa sifat manjanya sampai hari ini belum hilang juga. Mungkin karena anak bungsu, entahlah.


Pokoknya sebagai kakak yang baik budi aku sering dibikin pusing dengan sifat kekanak-kanakannya ini. Kalau dia sudah menelepon hati jadi dag dig dug, karena pasti ada sesuatu yang diminta. Terakhir, dia minta dibelikan iPhone. Whattttt!!! Mata kakaknya ini langsung mendelik. Iya, kakaknya aja pakenya hape sejuta umat kok :-D

wefie bersama dua hari sebelum wisuda


Sebagai sesama perempuan aku dan Diah punya kedekatan emosional yang luar biasa besar, walaupun kami tinggal berjauhan. Saat aku merantau ke Banda Aceh tahun 2002 silam, umur adik bungsu kami ini baru tiga tahun. Waktu itu dia masih lucu, imut, menggemaskan, mulutnya cerewet. Aku paling suka membawanya ke mana-mana kalau pergi main sore-sore. Karena sudah bisa berdiri, Diah tinggal kuberdirikan saja di kap sepeda motor bebek Astrea Grand yang menjadi tungganganku kala itu.

Saat umurnya 9 tahun ayah kami meninggal dunia. Diah waktu itu masih kelas tiga SD. Inilah yang membuat kami sekeluarga sangat menyayanginya. Beda dengan kami-kami yang sudah besar ini, adek Diah hanya bisa merasakan kasih sayang ayah sebentar saja. Alhasil, dia tidak bisa merasakan momen-momen penting bersama ayah seperti yang dulu pernah aku rasakan.

Jauh-jauh hari sebelum acara wisuda, Diah sudah mengultimatum agar aku hadir ke salah satu momen penting di hidupnya. Sebagai kakak yang baik, sudah pasti aku memenuhi permintaannya itu. Pagi-pagi sekali aku dan mamak sudah berangkat ke Peureulak dari Idi, dengan meminjam sepeda motor Cek Muna. Aku mengebut karena takut terlambat. Soalnya Diah bilang acaranya dimulai pukul sembilan pagi, sedangkan kami baru berangkat dari rumah setengah jam sebelumnya.

Syukurlah kami sampai tepat waktu. Dan begitu kami sampai ternyata sekolah masih sepi jali, hanya ada para santri. Sedangkan orang tua santri dan undangan belum satupun ada yang datang. Mak geleng-geleng kepala.

"Memanglah si Diah ini, nyan ipeugah acara poh 9 ka mulai. Ban trok tanyoe hana ureung lom meusidroe pih," kata Mamak sambil menahan geli.

Mamak aku mamak ke juga, kata Diah ke bestfriendsnya


Selain aku, mak tentu saja orang nomor paling wahid yang dibuat pusing oleh anak bungsunya itu. Bagaimana tidak, kalau bicara di telepon selalu merengek-rengek, kalau bicara tatap muka sering berujung pada tangisan. Makanpun masih minta disuap. Beda kali sama kakaknya yang seumur dia udah jago masak rendang jengkol :-D

Sebagai generasi milenial, foto-foto adalah aktivitas paling menyenangkan buat Diah and the genk, aku juga dink hihihi. Makanya, begitu sampai di pesantren kami foto-foto, mengabadikan momen penting ini, untuk dikenang di waktu-waktu kemudian, jika ada umur panjang. Tapi kalau aku foto-fotonya nggak pakai moncongin bibir hahahah. Saat namanya di podium disebut kami mengucap syukur, si bungsu lulus SMA dengan predikat Jay Jiddan. Artinya buka kamus Arab-Indonesia yakk...

Rangkaian acara hari itu ditutup dengan makan bersama para wali santri dan undangan. Hidangannya sangat enak, lauknya ada rendang daging, sayur bak pisang khas awak Aceh Timur, dan paling spesial adalah tauco kikil dengan kacang tunggak kesukaanku.

Bersama tiga juniornya, kata mereka Uti Diah baek binggitsss... sampai dikasi kado jam tangan segala


Saat ini, saat aku menuliskan ini, Diah sedang mendaftar online untuk masuk ke perguruan tinggi. Dia dibantu oleh guru-gurunya di pesantren. Sudah dua hari ini proses pendaftaran tersendat karena koneksi internet yang terganggu, dan juga jaringan listrik yang on off on off terus. Adik kami ini salah satu calon penerima beasiswa Bidikmisi, doakan lulus yang kangkawan.

Sama kayak kakaknya, ni anak juga nggak suka sama pelajaran eksakta. Dia akhirnya pilih tiga jurusan yaitu Hukum, Politik dan Komunikasi. Tiga-tiganya milih di Unsyiah. Hmm....mungkin dia mau jadi wartawan juga kek kakaknya ini. Ngomong-ngomong kami seperti punya taste yang sama, kalau kuperhatikan dia jago juga bikin puisi dan menulis, tinggal diasah sajah.

Dengan kakak yang kalau nggak merah nggak jadi ari raya :-D


And the last word.... i want to talk something to you my beloved sista

dibutuhkah lebih dari sekadar berlari untuk memahami hidup

pada jejak langkah yang tak pernah berhenti

kita menemukan lebih dari sekadar definisi



Selamat berjuang sista, jalani hidup dengan semangat, selalu nyalakan api di hidupmu, jangan pernah padam, jangan pernah padam, jangan pernah padam.

Ditulis dengan sepenuh cinta dan sayang

Kakak
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)