Jumat, 09 Juni 2006

"Kakak Besar dan Merpati Kecil (oleh: Kak Nijar)

Adalah seseorang yang dipanggil dengan panggilan ‘Kakak Besar’. Dipanggil ‘Kakak’ karena memang sang kakak ini lebih tua dibandingkan orang-orang sekitarnya. Dan dipanggil ‘Besar’ karena memang badannya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan ukuran biasa manusia sesusianya. Penyebutannya denan ‘Kakak Besar’ semata-mata karena itu. Berbeda memang dengan penyebutan-penyebutan terhadap tokoh-tokoh, seperti ‘Bung’ yang memberi kesan penuh semangat, dengan lengan baju yang disingsingkan dan tinju yang mengepal, yang setiap saat bisa memberikan teriakan-teriakan komando. Sebutan ‘Bung’ mempunyai kesan sangat operasional. Mempunyai kesan yang senantiasa keep on moving. Bahkan lebih dari sekedar itu, sebutan ‘Bung’ mempunyai kesan yang berapi-api misalnya ‘Bung Tomo’, ‘Bung Karno’ atau ‘Bung Harmoko”. Sebutan ‘Pak’ adalah untuk tokoh yang lebih dituakan. Kesan yang tampil adalah wise dan cool berpengatahuan luas dan senantiasa dipikir masak-masak sebelum berbicara dan bertindak. ‘Pak’ menggambarkan kesan sederhana namun tetap tegas dan disegani serta akan senantiasa memberikan ilmu dan bijaknya setiap saat baik diminta maupun tidak, misalnya ‘Pak Harto’, ‘Pak Domo’, ‘Pak Lurah’, dan sebagainya. Sebutan ‘Kiai’ memberikan gambaran sosok yang mengenakan jubah putih panjang bersurban memegang tasbeh dan dari mulutnya akan meluncur hadits dan firman bak hujan lebat. Kata-kata yang keluar dari mulutnya senantiasa ada sumbernya, ada kitabnya. Apa lagi sebutan itu diperpanjang dengan ‘Al Ustadz Al Mukarom Kiai Haji......’ maka kesan yang tampil adalah seorang tokoh agamis sejati bahkan lebih dari itu, yang muncul adalah kesan Arab. Misalnya ‘Al Ustadz Al Mukarrom Kiai Haji Muhammad Munzir Al Faridzi’ Berbeda tentunya dengan ‘Prof, Dr, H Jain Hans., MA.’ yang kesannya tetap islami tetapi tidak arabi. Lalu ada banyak sebutan sebutan lainnya misalnya. ‘Aa’ yang sebenarnya panggilan lokal yang telah ada sejak adanya masyarakat sunda dengan bahasa sundanya, namun menjadi naik peringkat menjadi sebutan yang bertaraf nasional seiring dengan makin meningkatnya popularitas Aa Gym yang melekatkan sebutan ‘Aa’ ini dengan panggilan beliau, Gym. Sebenarnya, tidak layak orang yang bukan sunda dipanggil dengan sebutan ‘Aa’ sama tidak layaknya dengan orang Jawa dipanggil ‘Uda’, atau orang Batak dipanggil ‘Mas’. Bisa menjadi agak layak bila digunakan dikalangan terbatas misalnya istri yang Sunda tetap menyebut “Aa’ untuk suaminya yang bukan Sunda, karena memang ada niatan menyundakan sang suami. Tapi itu terbatas untuk dua orang itu saja, tidak untuk diproklamasikan ke lingkungan luar yang lebih luas. Jadi, janganlah karena ada satu ‘Aa’ yang sudah ngetop, yang lain ikut menyebut diri dengan ‘Aa’ sementara naman adalah Gatot, ada Brajamusti-nya lagi! Penyebutan ‘Aa’ kesannya lebih muda dan akrab. Ini bisa dirasakan oleh orang Sunda atau orang yang memahami rasanya bahasa sunda. Sebutan ‘Tuanku’ adalah untuk tokoh yang sangat tinggi derajatnya, sebutan ‘Yang Maha......’ hanya untuk Tuhan, Allah yang Kuasa.
Benak kita mempunyai gudang karakter-karakter tersebut dan manakala sebutan-sebutan itu diucapkan, secara otomatis otak mencocokkannya dengan karakter-karakter yang ada di gudang benak kita itu. Itulah yang terjadi tanpa kita sadari, alias otomatis. Tapi, sekali lagi, sebutan ‘Kakak Besar’ ini semata-mata karena ia sedikit lebih tua dari orang-orang disekitarnya dan badannya memang relatif besar. Jadi penyebutannya hanya karena harfiah!
Sang Kakak Besar ini tinggal disebuah gubuk disebuah dataran tinggi yang berhawa sejuk. Dia bekerja di sebuah perkebunan teh yang cukup besar yang memproduksi teh untuk tujuan ekspor, sebagian besarnya. Sebagian kecil dijual dipasar lokal dengan harga mahal. Dia adalah Sinder, jabatan setingkat diatas Mandor. Gajinya cukup untuk hidup sendiri.
Suatu sore hari, datanglah seekor merpati kecil di teras rumahnya lalu keduanya saling menatap.
“Apa kabar?” Merpati Kecil bertanya.
Sang Kakak Besar terkejut. Kamu bisa bicara?”
“Bukan bisa bicara, tetapi kamu tahu yang aku ucapkan.”
“Maksudmu?”
“Aku tidak bisa berbicara sepertimu. Aku tetap saja berciap-ciap layaknya burung, tetapi kamu bisa mengerti.”
“Ooh.”
“Dan kamu tetap berbicara selayaknya manusia, tetapi aku bisa mengerti.”
“Kok bisa ya?”
“Yang Maha Kuasa membuatnya seperti itu, dan terjadilah.”
“Iya ya.”
“Bagaimana kabarmu?” Merpati kecil kembali mengulangi sapaannya.
“Baik, kamu sendiri?”
“Baik juga. Ada banyak biji-bijian yang ketemukan hari ini dan aku merasa kenyang sekarang. Mukamu sedih, ada apa?”
“kamu mau tahu aja, tapi baiklah, aku sedih karena seseorang mengambil bungaku.”
“Bunga di dalam pot kembangmu?
“Bukan, bunga di pinggir jalan, yang setiap hari aku lewati. Sebenarnya bunga itu dulu kurus dan kecil, dan belum ada kembangnya lagi.” Kakak Besar mulai bercerita tanpa diminta oleh Merpati Kecil. “Lalu setiap berangkat kerja aku selalu mampir untuk memperhatikannya, mencabuti rumput-rumput disekitarnya dan sekali-sekali memberinya pupuk atau menyiraminya kalau sudah beberapa hari tidak turun hujan. Setelah beberapa lama, muncullah bunganya, hanya setangkai tetapi cantik sekali.”
“Bunga apaan sih?”
“Mawar hutan.”
“Bukan bunga yang cantik, bunga itu kembangnya sedikit, pohonnya tinggi daunnya keras dan durinya banyak. Mengapa kamu tidak buru-buru memetiknya?”
“Bunganya cantik, walaupun pohonnya tidak. Maksudmu buru-buru?”
“Buru-buru?”
“Iya, cepat-cepat.”
“Tidak bisa! Untuk bunga yang secantik itu, aku harus mempersiapkan dulu potnya atau kalau aku hanya mau mengambil bunganya aku harus membeli dulu vas-nya dan menunggu hari yang baik baru memetiknya.”
“Keburu diambil orang?”
“Iya.” Kakak besar itu kelihatan sedih.
“Bunga itu milikmu?”
“Bbb bukan sih.....” Kakak besar tergagap karena sadar, karena sebenarnyamemang bukan iya yang memiliki bunga itu.
“Tapi aku merasa telah memilikinya!”
“Merasa memiliki bukan berarti memiliki.”
“Iya.” Kakak berkata dengan wajah yang sedih.
Merpati kecil segera terbang berlalu.
“Ei, kamu mau kemana.”
“Ada seseekor maksudku seseorang yang perlu ku selamatkan.” Merpati kecil kembali terbang menjauh.
Tak lama ia kembali, “Ini kubawakan biji kembang coba saja kamu tanam.”
“Bagus?”
“Aku tidak tahu, tanam saja.”
Kakak besar segera mengambil arit dan segera menanam biji tersebut di halaman rumahnya.
“Jangan tanam di sana, tanam saja di sudut halaman itu di dekat pokok bambu yang sudah mati itu.”
“Kenapa?”
“Kalau nanti bunganya tidak bagus, tidak merusak pemandangan rumahmu, sebaliknya, kalau memang bagus, masih dipindahkan ke halaman.”
“Oh begitu.” Kakak Besar lalu menanam benih kembang itu dekat pokok bambu.
Beberapa hari berlalu, benih yang ditanam mulai tumbuh dan hati Kakak Besar mulai senang. Beberapa kali Merpati Kecil datang dan Kakak Besar menanyakan perihal benih bunga yang ditanamnya, bunga apa, apa warnanya, wangi apa tidak dan sebagainya yang dijawab oleh Merpati Kecil dengan tidak tahu, lihat saja nanti atau aku hanya mengambil benihnya yang kutemukan secara tidak sengaja saat aku mencari makan. Hingga suatu saat, Merpati Kecil datang disaat Kakak Besar sedang bersiap-siap membabat habis pohon bunga yang sedang rimbun itu.
“Eit, tunggu dulu, kenapa dengan bunga itu hingga kau ingin membuangnya?”
“Bunga yang jelek, pohonnya merambat kemana-mana, tidak wangi, warnanya ungu tanpa kelopak.....”
“Iya, memang seperti itu, bunganya mirip rambut yang terjurai berwarna ungu menghadap kebawah mirip sekali dengan payung keranda orang mati.”
“Justru itu, lebih baik dimusnahkan saja sebelum merambat lebih luas.”
“Bersabarlah sedikit, bila nanti pohon bunga itu sudah berbuah dan kamu tetap tidak suka, kamu bisa membuangnya.”
Kakak besar mengurungkan niatnya walau dengan bersungut-sungut.
Beberapa hari berlalu, dari rumah Kak Besar mengalun dentingan piano yang sangat merdu, lagunya ‘Indonesia tanah Air Beta’ sebuah lagu sederhana tentang cinta kepada tanah air. Tapi, karena dimain oleh jari-jemari Kakak Besar yang sangat mahir, suaranya menjadi sedemikian merdu yang mampu menggugah perasaan siapa saja yang mendengarnya, bahkan juga terhadap seseorang yang tidak mencintai musik sekalipun.
Merpati Kecil lantas mampir. “Permainan pianomu menyentuh sekali, kamu sedang berbahagia?”
“Iya, Allah sudah mengabulkan do’aku.”
“Kamu minta apa?”
“Mobil.”
“Mana mobilmu, aku tidak melihatnya.”
“Semalam aku baru saja membeli sepeda.”
“Kamu merasa Allah sudah mengabulkannya dengan memberimu sepeda itu?”
“Iya sebenarnya yang aku perlukan adalah alat transportasi ke tempatku bekerja. Lalu aku memohon mobil kepadaNya yang sebenarnya juga untuk aku pamerkan kepada teman-temanku di kantor, kepada tetngga-tetanggku, untuk suatu saat bisa aku gunakan membawa barang-barang berharga dari rumahku ini ke kantorku kalau ada perayaan-perayaan. Aku tidak tahu juga kenapa disaat melewati toko sepeda aku begitu tertariknya dengan sepeda itu sehinga aku membelinya. Kamu pernah berdoa’minta sepeda?”
“Tidak, untuk menempuh jarak yang kamu sebutkan itu, aku cukup terbang saja.”
“Oh iya ya. Sekarang aku menyadari bahwa sebenarnya sepeda itulah yang aku butuhkan. Jarak antara rumah ini dengan tempatku bekerja hanya beberapa kilometer saja yang ideal sekali bila ditempuh dengan sepeda. Sementara tempat maksiat terdekat dengan tempat ini adalah seratus kilometer yang tidak mungkin aku tempuh dengan bersepeda, hanya dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor. Aku menyadari sekali sekarang kalau Allah telah memenuhi kebutuhanku, sekaligus menjagaku dari dosa.”
“Ooh. Bagaimana dengan bungamu dulu?”
“Aku tidak tahu, kita lihat saja sekarang.”
Meraka lalu pergi ke pokok bambu disudut halaman yang telah tertutup habis oleh rerimbunan pohon bunga yang melilit-lilitnya seperti pohon sirih. Pohon itu sekarang tidak saja berbunga makin banyak, tetapi sudah mulai berbuah seperti timun berwarna hijau dan ada juga yang kuning.
“Coba kamu petik yang kuning.”
Kakak Besar lantas memetik buah yang berwarna kuning, membelahnya, melihat isinya sebentar, “Buah apa ini?”
“Coba saja cicipi?”
Kakak Besar lalu mencicipi isinnya, “Mm, manis sekali dan segar.”
“Itu buah Arbis. Pohonnya jelek, bunganya jelek tetapi buahnya manis. Isinya mirip dengan isi markisa, tetapi airnya lebih banyak. Kulit buahnya empuk dan juga bisa dimakan seperti blewah atau timun suri.”
Kakak Besar melangkah mendekati pohon arbis itu dengan parangnya.
“Kamu akan tetap memotong pohonnya?”
“Tidak, aku akan mengambil buahnya yang sudah masak ini agar bisa menanam bijinya di beberapa tempat lagi.”
“Ooh. Sekarang kamu bisa menanam lagi, memberikan kepada seseorang atau membuangnya, pohon itu sepenuhnya milikmu karena kamu tanam di tanah milikmu dan dengan benih yang kuberikan ikhlas untukmu.”
Diperjalanan pulang menuju rumah Kakak Besar, Merpati Kecil kaget melihat sangkar burung yang tergantung di sudut atap teras, yang tadi belum sempat diperhatikannya.
“Kamu benar-benar manusia yang biadab.”
“Kenapa?”
“Sangkar itu kamu persiapkan untukku kan?”
“Iya.”
“Disaat aku sudah sedemikian akrab denganmu dan telah beberapa kali memberikan pertolongan padamu, ternyata kamu bersiap-siap mengurungku di dalam sangkar itu!”
“Lihatlah sekali lagi sangkar itu dengan lebih teliti.”
“Kok tidak ada pintunya?”
“Selama ini bila kamu datang kesini kamu adalah tamu. Aku ingin kamu merasa rumahku ini sebagai rumahmu juga. Untuk itu aku menyediakan ruang untukmu. Tapi, tidak mungkin kan aku membuatkan kamar didalam rumahku? Untuk itu aku menyediakan sangkar yang didalamnya sudah kusediakan biji-bijian dan minum dan sengaja tidak kupasang pintunya agar kamu dapat setiap saat datang dan pergi. Dengan sangkar yang tak berpintu itu, kamu juga telah menjadi tuan rumah di rumahku ini.”
Merpati Kecil lantas mengepakkan sayapnya, pergi.
“Mengapa pergi, kamu tidak suka?”
“Aku tidak suka dengan sangkar yang polos seperti itu, aku ingin mengambilkan kembang putri malu untuk menghiasinya.”


Jakarta, 05 Juni 2006
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)