Jumat, 26 Januari 2007

Cinta Ku Terhalang Mahar

Untuk saat ini tidak ada yang bisa menghalangiku untuk kembali ketanah ini, kerinduanku akan gundukan barisan bukit disepanjang pantai dan ombaknya yang menggulung sungguh membuncah seperti magma yang akan segera dikeluarkan sang merapi. termasuk Ibu! Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku hingga menjadi seperti yang sekarang ini.
“Apa tidak sebaiknya kamu batalkan saja niatmu ke Aceh Shan. Kamu akan sendirian disana, ngga punya saudara, ibu ngga bisa jenguk karena jauh. Mending kamu ke Yogya atau Bandung saja…tidak terlalu jauh dari Jakarta.” Suara ibu terdengar lirih saat kami sedang makan malam seminggu yang lalu. Nasi dipiringnya hanya diaduk-aduk tapi takada sesuappun yang masuk ke mulutnya. Padahal sore tadi ibu masak semur ayam dan tumis kembang kol, menu favorit keluarga kami.
Aku meliriknya sebentar lalu menekuri kembali piring makan ku, disana seperti tak terlihat butiran nasi melainkan hamparan pasir disepanjang pantai ule lhe, sayuran ijau tak ubahnya seperti miniature perbukitan yang berjejer disepanjang pantai hingga ke Lhok Nga yang ditumbuhi pohon-pohon. Telur ceplok yang masih utuh dipiring laksana perumpamaan sunset yang diburu penggila foto menjelang senja yang berpendar kemerahan dikelilingi awan putih kebiruan.

Keinginanku sudah memuncak, kerinduan akan aceh sudah tak bisa dibendung lagi walau dengan sogokan apapun. Aku harus segera kesana, mencari pekerjaan disana, kalau ada rejeki membeli sepetak atau dua petak tanah untuk dibangun gubuk kecil dan kalau Tuhan bermurah hati ijinkanlah aku meminta agar diberi istri seorang Aceh. Ah…

“Shandi….apa kamu ngga lihat, ibu sudah tua, kakak dan abang mu sudah menikah dan sebentar lagi adik mu Ning juga akan menyusul dn ikut dengan suaminya. Cuma kamu harapan ibu satu-satunya yang kelak bisa menempati rumah ini. Siapapun istrimu ibu akan terima asalkan kamu tidak jauh dari ibu."

Lagi-lagi suara ibu terdengar begitu trenyuh dan berat, terus terang aku tak kuat kalau ia terus berbicara seperti itu. Selera makan ku hilang. Ku lihat Ning disampingku juga diam, sama seperti ibu dia juga berat kalau harus jauh dengan ku. Aplagi jarak Jakarta Aceh bukanlah jarak yang dekat.

“Bu, Ning, bukannya saya ingin menjauh dari ibu apalagi dari Ning. Saya hanya ingin mencari pengalaman baru disana, kalau saya ada rejeki biar saja saja yang menjenguk ibu nanti kalau kehidupan disana sudah mapan baru ibu yang kesana. Ibu jangan kuatirkan saya, kan Shandi sudah besar….” Aku melirik Ningtyas dengan harapan adik bungsu ku itu mau tersenyum, dan dia memang tersenyum, tapi hambar.

@@@

Hari ini kerinduan itu benar-benar tertebus, dadaku menjadi lega seperti beratus-ratus ton barang yang baru diturunkan dari petikemas. Disepanjang perjalanan dari bandara menuju ke Banda Aceh tak henti-hentinya bibirku tersenyum. Memandangi pohon-pohon yang dipinggir jalan tak ubahnya seperti pengawal istana yang sedang menabuh gendering menyambut kdatangan rajanya dari negeri seberang, akulah raja itu. Shandi Naweta. Berbagai syair disenandungkan memanjakan telingaku padahal tak lebih dari kebisingan hiruk pikik di Lambaro. Lagi-lagi aku tersenyum asing bagaimana mungkin suara klakson mobil yang memekakkan telinga itu bisa terdengar merdu dan melenakan?

Dasar aneh!
Entah bisikan gaib darimana yang membuatku begitu merindui aceh dan ingin kembali lagi kesini. Dan hari ini panggilan gaib itu telah ku penuhi. Aceh memang luar biasa dan mampu menghipnotis siapa saja, termasuk aku yang dulu sempat menjejakkan kaki tidak lebih dari dua minggu lamanya karena perjalanan dinas pada awal tahun 2005. waktu itu aceh masih seperti kapal pecah yang tak terlihat wajahnya, namun begitu keelokan dan keanggunannya tetap tak hilang. Dan semua itu telah mampu menjerat ku dan menarik ku untuk kembali ke tanah serambi ini.

Bayangan lain yang belum bisa ku tepis tentang aceh adalah bayangan cut yasmita, gadis jelita yan sempat ku jatuhkan pilihan untuk menjadi calon pendamping hidupku. Namun harapan tinggal sebagai catatan dihati, bayangan cut yasmita pelan-pelan terpksa ku hapus, persis seperti melukis diatas pasir. Kenyataan yang disodorkan kepdaku lebih berat ketimbang bahagia jika kelak aku berhasil memperistri cut yasmita.

@@@

Menatap langit-langit kamar ini seolah semakin memperjelas bayangan cut yasmita, dulu, dikamar ini aku pernah menuliskan selembar surat cinta untuknya. Ah…semuanya hanya kenangan yang tak indah.

Belakangan aku jadi tahu kalau meminta mahar dalam jumlah yang besar kepada calon suami sudah menjadi semacam tradisi dalam masyarakat Aceh. Tetapi tidak berlaku untuk semuanya, terbatas pada status sosial masyarakatnya juga. Maka tahulah sekarang mengapa keluarga cut yasmita meminta mahar sampai 40 mayam. Jumlah yang tak sedikit untuk masa sekarang ini. Belum lagi dengan seperangkat isi kamar dan hantaran yang tidak boleh tidak ada. ku rasa keputusan ku untuk tidak memenuhinya bukanlah karena aku tidak mencintainya. Tapi…40 mayam bukanlah jumlah yang sedikit bagi ku yang punya penghasilan pas-pasan. Ah…mengapa untuk menggenap kan setengah dien saja susah dan rumitnya seperti ini? Apakah karena dia berketurunan bangsawan? Sehingga tak sembarang orang boleh melamarnya, apalagi untuk seseorang yang berlainan suku seperti aku. Jawaban itu sama sekali tak pernah kudapatkan dengan pasti sampai sekarang.


tak tahu dimanakah awalnya...............
rasa ini tumbuh dengan tulus.............
dan apa kah ini akan berakhir..............
semuanya diluar kuasa ku......................
hanya saja selagi ku hidup........................
sluruh fikir dan ilham untuk mu...............
takkan kubagi walaupun setetes................
segenap hidupku untuk mu.........................


lagu tak berawal tak berakhir terdengar begitu sendu ditelinga ku. Membawaku pada suasana melankolik yang sama sekali tidak bisa kuterjemahkan. Kupaksakan untuk segera menutup mata agar langit-langit kamar yang memamerkan seluruh bayangan cut bisa ku enyahkan. Tapi berkali-kali pula aku gagal dan bayangan itu semakin berat menyiksa ku.

Inikah makna sebenarnya dari kerinduanku akan tanah ini? Untuk kembali bernostalgia menyarik kenangan tentang cinta yang tertahan pada seperangkat mahar. Ah…betapa kejamnya kah kehidupan ini? Aku tak pernah tahu, sama tak tahunya dengan cut yasmita yang sampai sekarang selalu mengatakan ia mencintai ku tapi tak pernah sekalipun ia berusaha meyakinkan orang tuanya untuk menerima ku.

Lagi-lagi aku hanya bisa mereka-reka, apakah ini bentuk lain penolakan secara halus untuk tak menerimaku sebagai calon menantu mereka? Beberapa hari yang lalu ada yang menceritakan kepada ku hal serupa sering dilakukan oleh orang-orang terdahulu untuk menolak secara halus dengan maksud untuk tidak menyakiti hati si pelamar agar mundur secara teratur. Seperti permintaan lima puluh jenis kunci misalnya, yang melamar tentu akan berpikir seratus kali untuk memberikan seserahan lima puluh kunci kepada calon istrinya. Betapa sakitnya….

Langit-langit kamar ini berubah menjadi gelap dan tak berwarna, seolah saling berebut dengan hamparan pasir pantai ule lhe dan bukit-bukit hijau disepanjang pantai Lhok Nga, juga dengan ceplok telur miniatur matahari disenja hari.

To my beloved bro…..
Anggap saja semua ini batu loncatan untuk mendapatkan bidadari surga
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)