Senin, 30 Mei 2011

Keputusan*

Apa yang tersisa dari hujan sore ini? Adalah luka yang menganga dari rahim keadaan yang tak dapat dibendung. Membusuk serupa bisul yang memerah. Mungkin sebentar lagi ia akan pecah, mengeluarkan nanah bercampur darah yang amis.

Hingga akhirnya aku sampai ke hadapanmu. Aku tak tahu energi darimana yang menyeretku menembus hujan dan temaramnya senja. Melewati jalanan sepi yang berlubang dan tergenang air. Suara-suara cacing tanah yang tengah bersiap-siap menyambut malam. Namun itu tak lebih mengerikan dari ultimatum yang berkelebat seperti kilat dan menyayat hati seperti percikan halilintar. Aku tak pernah mendengar suara ibu setegas itu, menusuk dan mencincang perasaanku.

Yang kutahu, sekarang aku telah berada di hadapanmu, kulihat sepasang cahaya dari binar matamu yang terlihat lelah. Sekilas terbayang pesan singkatmu, bahwa ada jeda waktu yang harus kita hormati. Mungkin hingga selepas isya nanti.

“Tuhan selalu mengirimmu di saat aku membutuhkanmu.” Kataku sambil meraih handuk yang kau berikan. Untuk mengeringkan butir-butir air yang masih ada dipucuk-pucuk wajahku.

Kau berjalan menuju jendela, menyibak tirai putih bersulam emasnya dan memandangi lelangit Tuhan yang hampir sempurna gelap. Di luar sana rintik-rintik bekas hujan masih tersisa di dahan-dahan langit. Untuk kemudian jatuh ke bumi. Seperti aku yang jatuh ke altar hatimu.

“Kau terlihat gelisah, Ai.” Suara beratmu mengusik hatiku, untuk kemudian mendekati dirimu. Hingga kemudian ubun-ubunmu hanya berjarak beberapa centi saja dari bibirku.

“Ya, aku memang sedang gelisah.” Kataku berdesis di telingamu.

Kau beranjak. Dan aku menikmati gugu dalam diamku. Tak lama kemudian kau kembali dengan segelas teh hangat tanpa gula kesukaanku. Asapnya mengepul menghangatkan udara yang memamah tulang. “Terimakasih.” Ujarku.

“Kau tahu, setiap kali aku merasa gelisah seperti ini aku ingin masuk ke dalamnya tatapanmu.” Aku menyeruput teh melati yang harum. Hangatnya merambati palung-palung jiwaku. “Karena di sana aku merasakan tenang dan nyaman.”

“Kupikir senja sore ini cukup membuatmu untuk tidak membutuhkan aku.” Bibirmu mengembangkan senyum. Seperti perahu layar yang siap mengarungi belantara lautan. Dan aku tersedot dalam pusaran dua kepakan tanganmu, serupa kepak sayap merpati yang meluruhkanku untuk mendengar detak jantungmu, begitu berirama, begitu teratur. Tetapi gelisah ini benar-benar lara, hingga aku tak bisa menyembunyikannya darimu.

“Apa yang membuatmu gelisah?” tanyamu di sela-sela panjang diam kita.

Aku menghela napas. Tak ingin menjawab. Sebab aku ingin tertidur di dalamnya hatimu. Karena hanya dekapanmu yang dapat membilas seluruh jelaga resah dan galau hati yang membongkah.

Ah, lagi-lagi ultimatum ibu mengiang di telingaku, berputar-putar seperti gasing amarah yang memunculkan gejolak. Membuatku takut dan ngeri dengan cerita-cerita yang mengalir sesudah itu.

“Tak ada lagi toleransi untuk kali ini, semua adik-adikmu sudah menikah, apa kamu mau menjadi perawan tua seumur hidup?” kata-kata yang begitu melengking. Seperti sembilu yang mengiris-ngiris ketakberdayaan. Ah, tahukah kau ibu bahwa hatiku telah lama tak lagi perawan.

“Kau menangis, Ai?” suara beratmu begitu sempurna, selalu menyisakan rindu pada setiap telinga yang pernah mendengarnya, dan aku tak ingin kehilangan suara itu. Kecambah rindu untukmu telah tumbuh begitu besar, menjadi pohon yang melindungiku dari kemaraunya sepi dan gundah.

“Hatiku sedang terluka.” Airmataku mengalir di bahumu.

“Ceritakan padaku.”

Aku selalu menikmati ketergesaan denganmu. Bertahun-tahun denganmu telah membuatku begitu mengerti dan bersahabat dengan ketidakberpihakan situasi. Takdir yang kadang-kadang terasa begitu aneh. Atau ketergopoh-gopohan kita menyudahi pertemuan. Juga pada saat-saat aku menyusuri lorong-lorong sembunyi untuk bisa sampai ke hadapanmu. Sekedar untuk mencium aroma tubuhmu. Dan setelah itu kembali pergi.

Tapi kali ini aku merasa waktu bergerak begitu cepat. Rasanya baru kemarin pagi aku mengatakan cinta untukmu. Dan takdir seperti sedang mempermainkan kita. Atau mungkin sebaliknya. Aku takut, tak bisa melewati lorong-lorong sunyi yang sepi untuk menemuimu lagi. Aku takut tak bisa merasakan bagaimana hangatnya jiwa dan ubun-ubunmu.

“Mengapa, sekali dalam hidupku aku tak bisa membuat keputusan untuk diriku sendiri?” suaraku parau. Berderak-derak seperti dahan yang akan terlepas dari pohon. Napasku sengal, bercampur antara marah dan rindu yang membuncah untukmu.

“Keputusan apa?”

“Keputusan untuk hidup denganmu.”

Kau menghela napas. Berat. Lalu meniupkannya ke wajahku. Kau tersenyum, mencoba menggodaku dengan kedipan matamu yang jenaka. Aku tergelak. Seperti bayi yang tergelitik tangan lembut ibunya.

Tapi kemudian kau tercenung. Diam adalah milik waktu. Dan kita hanya bisa berdialog dengan hati masing-masing tanpa memberikan kesempatan bagi telinga untuk mendengarnya. Biarlah rahasia ini karam dalam kemengertian masing-masing.

“Ai?” kau berdesis.

“Kali ini aku tak dapat berkelit lagi. Aku tak cukup punya kekuatan untuk menceritakan tentang dirimu. Maafkan aku.” Aku meminjam tubuhmu untuk melerai luka ini.

“Tapi kau terluka, Ai.” Suaramu nyaris tak terdengar.

Luka hanya ada dalam imajinasi. Ingin kukatakan padamu bahwa seluruh dari diriku telah mati saat aku dipertemukan dengan lelaki lain. Perasaanku telah menjadi angin yang membeliungkan seluruh rasa. Hatiku beterbangan, berceceran seperti butiran pasir gurun yang pernah kau pijak. Tak seorangpun dapat menyatukannya kembali. Tidak juga lelaki pilihan keluarga yang kata mereka begitu sempurna. Bagiku kesempurnaan hanya milik Tuhan yang dititiskannya untukmu. Jiwaku seperti kepulan bara yang melahap seluruh emosi.

“Tak akan ada luka dari sesosok mayat yang dipasung oleh lelaki bergelar suami.”

“Siapa lelaki itu?”

“Aku tak ingin menceritakannya sebab aku tidak mencintai dia.”

Bertahun-tahun lalu aku telah menikahkan jiwaku dengan jiwamu, aku sudah mentasbihkan diri dalam pikiranmu. Itu karena aku menyadari bahwa jasad kita hanya menjadi milik masing-masing.

Aku mengerti bahwa situasi tidak akan pernah berpihak pada kita, karena itu aku memilih untuk mencintaimu tanpa syarat apapun. Kau yang telah menjadikanku perempuan maha sempurna. Menjadikanku ibu tanpa pernah merasakan bagaimana rahimku dihinggapi janin. Mengijinkanku merawat mereka dengan segenap kekuatan imajinasi dan ketulusan ruang batin. Kau yang memberiku kesempatan menyaksikan mereka tumbuh, besar dan berkembang dalam anganku. Tak ada lagi yang kuinginkan setelah itu.

“Ai?”

“Ya.”

“Aku tak ingin kau menyesali keaadan.”

“Tidak.”

Langit telah benar-benar gelap. Seperti hatiku yang benar-benar telah rapat. Dan untuk kali ini aku tak peduli pada adat tentang stigma perawan tua.

“Aku ingin tenggelam dan mati di dalamnya lautan hatimu.”

“Kenapa, Ai?”

“Agar aku, untuk sekali dalam hidupku bisa membuat keputusan untuk diriku sendiri.”

“Untuk?”

“Untuk tidak menikah dengan siapapun.”

Malam telah tua, dan entah mengapa kali ini kita tak tergesa-gesa untuk menyudahi pertemuan.

Permata Puni, 12:19 am

22 Apr 11


*) telah dimuat di Koran Harian Aceh edisi Ahad, 29 May 2011

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)