Kamis, 03 Mei 2007

Syariat Islam: Antara yang Tertulis dan Tidak*

Agak berbeda dengan awal-awal diberlakukannya syariat Islam (SI) di NAD, dimana yang menjadi sorotan publik adalah perempuan karena maraknya sweeping maupun razia yang digelar untuk menertibkan masyarakat (baca: perempuan) yang belum berpakaian sesuai dengan standarisasi dalam islam. Tak jarang, dalam razia-razia yang digelar turut dibagikan selendang atau penutup kepala agar perempuan-perempuan tadi menutup rambutnya.

Jauh sebelumnya,ketika orang-orang gerakan masih berperan aktif pada waktu itu, perempuan juga dijadikan “santapan” empuk dari implementasi pelaksanaan hukum islam. Apabila dalam penjaringannya ditemukan permpuan yang tidak menutup kepala maka tidak segan-segan untuk menggunting atau mengecat rambut mereka dengan cat pylox sedangkan yang memakai pakaian ketat akan dibelah celananya.

Baliho-baliho besarpun turut menghias dipinggir jalan dengan gagahnya, tak ketinggalan gambar rambut perempuan yang menjuntai dan gambar gunting disebelahnya, ataupun tulian-tulisan peringatan semisal Anda memasuki kawasan wajib jilbab!

Yang menjadi pertanyaannya, apakah islam hanya disimbolkan dengan kain segi empat yang dipakai dikepala perempuan? Sehingga berhasil atau tidaknya suatu hukum ditentukan dari sedikit atau banyaknya permpuan yang melakukan pelanggaran tersebut. Kalau memang begitu adanya, sungguh pemahaman yang sangat keliru, sebab berbicara islam hal yang paling dasar dilakukan adalah pembersihan aqidah dan pelurusan pemahaman syahadah seseorang. Kalau ini belum benar maka jangan harap seseorang mampu melaksanakan islam secara kaffah.

Akhir-akhir ini, yang menjadi sorotan publik lebih kepersoalan mesum atau khalwat, yang diatur didalam qanun no. 14 th 2003. Lebih buruknya lagi dalam beberapa kasus justru pelakunya adalah qawwam alias penegak hukum, yang seyogyanya menjadi pemandu masyarakat, yang selama ini bertugas mengawasi dan mengkawal proses keberlangsungan syariat dinegeri ini.

Bukan ingin mencari keburukan orang lain, tapi sekedar menilik kebeberapa waktu silam, apa yang terjadi sekarang mirip-mirip dengan yang terjadi pada rentang waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, dimana GAM saat itu memegang peranan penting dalam masyarakat melalui peraturan tidak tertulisnya.

Pada waktu itu, mereka sering menggelar sweeping syariat islam, jalur kekerasan pun dipakai, yang dianggap “pembangkang” harus bersiap diri untuk dicat rambutnya atau dibelah pakaiannya. Tetapi apa yang terjadi dengan istri-istri mereka sendiri? Dengan adik perempuan mereka?

Pernah dalam sebuah pertemuan yang dilaksanakan oleh GAM, dalam forum tersebut mereka menyinggung-nyinggung soal tata cara bepakaian bagi perempuan. Tanpa dikomando orang-orang yang hadir disana langsung melongok kepada seorang perempuan yang ternyata adalah istri si tokoh GAM yang sedang berbicara. Ia datang ke pertemuan itu hanya dengan memakai baju batik berlengan pendek dan penutup kepala yang tidak lebih dari 80 cm. Masyarakatpun berkomentar seperti suara Unoe alias tidak jelas apa yang mereka katakana, tetapi jelas terbaca dari sorot mata dan bahasa tubuh mereka, tidak bisa menerima apa yang dikatakan oleh tokoh tersebut. Tetapi apa daya, masyarakat tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan uneg-uneg mereka, karena bisa diastikan apa akibatnya.

Fenomena inilah yang sepertinya kembali terulang saat ini, namun dalam format yang berbeda, sekarang dibungkus dengan UU Otonomi khusus tentang pelaksanaan SI, tertulis dan legal.

Sesuai dengan asal usul katanya, islam berasal dari kata sa la ma yang artinya keselamatan. Secara logika bisa dimaknai bahwa apabila hukum islam diaplikasikan dengan baik maka akan memberikan keselamatan dunia akhirat bagi pemeluknya. Tetapi setelah sekian lama, rasanya kok belum ada yang mengarah kearah kebaikan tersebut, malah sebagian masyarakat menilainya jauh lebih buruk lagi. Lalu apanya yang salah?

Sebagai orang yang sangat awam akan islam, saya mencoba menarik garis antara apa yang dilakukan oleh orang-orang GAM dan Dinas Syariat Islam (DSI) pada masa sekarang, pada dasarnya belum ada kepahaman dari sebagian personilnya sehingga apa yang terjadi dilapangan sering sekali keluar dari konteks yang sebenarnya.

Tidak paham disini tentu saja tidak bisa digeneralisir, dari sekian banyak anggotanya tidak bisa ditutupi ada satu dua yang tidak paham dengan ladang kerja mereka. Dulu, orang-orang GAM banyak mengkader pemuda-pemuda desa yang bahkan sekolah dasar saja tidak tamat, bisa dibayangkan apa yang terjadi dilapangan? Menghardik, berlaku kasar dan tidak bisa menghargai orang lain adalah hal yang kerap mereka lakukan. Sikap seperti itu ditambah lagi dengan kearogan-an mereka. Hal itu setali tiga uang dengan proses perekrutan pegawai-pegawai di DSI, banyak dari mereka yang diambil dari tempat lain lalu dipekerjakan disana, misalnya yang tadinya bekerja di kantor walikota kemudian dialihkan ke DSI. Lalu apa yang kita temui dilapangan? Kata the right man on the right place rasanya jauh dari harapan.

Inilah yang sepertinya dilupakan banyak orang, bahwa menetapkan suatu urusan haruslah oleh seseorang yang benar-benar mengerti dan paham akan hukum tersebut. Kalau tidak maka jadilah seperti apa yang kita lihat akhir-akhir ini, oknum WH sendiri seolah ikut mengambil bagian dalam audisi pelanggaran qanun SI.

Lalu, salahkan bila rakyat hilang simpatinya kepada para peunutoeh mereka? Tidak ada lagi rasa hormat kecuali rasa takut yang disebabkan karena mereka tidak mempunyai power untuk menyewa pengacara agar bisa melalui proses hukum seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang punya kekuasaan. Inilah yang menyebabkan seolah-olah pelaksanaan SI di NAD hanya untuk masyarakat kecil saja.

Meski tidak bisa berbuat apa-apa, secara pribadi saya tidak bisa menerima melihat WH yang berpatroli lantas berteriak-teriak “Itu yang tidak pakaian kerudung disana!” atau “Yang berbaju ketat dibawah pohon!” apa yang mereka lakukan berbeda sekali dengan yang ditunjukkan oleh Rasulullah, yang memberikan contoh dan keteladanan dengan santun dan lembut. Karena pada dasarnya islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi sekalian alam. Jadi, untuk merubah pola pikir masyarakat yang belum paham adalah dengan cara membeikan pengertian yang logis dan masuk akal, menjelaskan dengan ikhlas dan bukan dengan emosi dan caci maki, sebab islam bukanlah agama dogma apalagi doktrin. Islam agama yang logis dan fleksibel. Tidak sulit tetapi juga jangan diringan-ringankan. Itulah yang saya lihat dilakukan oleh seorang Teungku di Gampong beberapa waktu yang lalu. Dan hasilnya cukup efektif. (Ihan)

*tulisan ini sudah pernah dimuat di media Harian Aceh

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)