Sabtu, 12 Mei 2007

SANGGAR MALAHAYATI BERPRETENSI PADA KEPENTINGAN POLITIK

Banda Aceh, Andalas

Peresmian sanggar Malahayati, sabtu (21/4) lalu yang dikelola oleh Pemko Banda Aceh disinyalir berpretensi pada kepentingan politik kekuasaan dan telah melukai hati masyarakat Aceh, terutama para pegiat seni dan budaya. Pasalnya, keberadaan sanggar tersebut jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh beberapa seniman Aceh untuk tidak meneruskan keberadaan sanggar Malahayati. Kata Anton Setia Budi kepada Andalas (6/5) di Banda Aceh.

Ditengarai sanggar tersebut akan mengakibatkan terjadinya hegemoni berkesenian dan monopoli aktivitas seni. Serta terjadinya penyimpangan peran dan fungsi pemerintah dan bisa mengakibatkan terpusatnya APBD/APBN dalam pemberdayaan seni dan budaya di Aceh.

Sebelumnya seniman Aceh sudah melakukan pertemuan dengan Illiza Sa’aduddin Djamal SE untuk untuk membicarakan tentang keberadaan sanggar tersebut. “Kita sudah ingatkan, kalau beliau (Illiza) tetap ingin disayang oleh rakyat Aceh maka sanggar tersebut tidak boleh diresmikan,” jelas Anton mengutip hasil temu muka mereka beberapa waktu yang lalu dengan Illiza seraya menambahkan yang hadir pada saat itu selain dirinya ada juga Rafli Kande, Din Saja (budayawan Aceh), dan beberapa perwakilan dari sanggar seni yang ada di Banda Aceh.

Dalam bincang-bincang dengan beberapa seniman Aceh di kantor perwakilan Andalas di Banda Aceh beberapa waktu lalu, dikatakan bahwa dengan munculnya sanggar tersebut otomatis akan mematikan kreatifitas sanggar yang lain, karena kurangnya perhatian pemerintah. “Kalau ada promosi sanggar keluar negeri atau keluar daerah, sudah tentu mereka mendahulukan sanggarnya.” Komentar Rudi, aktivis sanggar Putroe Phang Unsyiah. Ia memperkirakan pasca tsunami muncul ratusan sanggar baru di Aceh yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah. Tetapi impian itu hilang dengan sendirinya dengan munculnya sanggar Malahayati yang pengurusnya adalah istri walikota Banda Aceh yang sedang menjabat saat ini.

Sementara itu, wakil walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Jamal yang ingin dikonfirmasi tentang keberadaan sanggar itu pada beberapa hari yang lalu tidak berhasil ditemui. Sementara Humas walikota Banda Aceh Drs. Mahdi tidak berani berkomentar, namun begitu Illiza berjanji minta waktu kepada wartawan dalam beberapa hari ini. (Irma Hafni)

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

  1. Ketika Radio yang diasuh Apa Kaoy mengundang saya untuk berdialog dengan Wakil Walikota Banda Aceh, sudah saya sampaikan kepada beliau tentang dampaknya sebuah sanggar yang dibentuk oleh pejabat sebuah negeri. Tapi, itu semua ternyata tidak mendapat tanggapan rendah hati dari wakil pemimpin saya itu. Sanggar tersebut tetap saja muncul. Tentu dengan cara pandang yang berbeda dari cara pandang saya dan teman-teman, kehadiran sanggar itu menjadi jelas keberadaannya. Artinya dia tetap saja hadir. Bahkan saya dengar sanggar tersebut sudah pernah melawat ke sebuah negara bekas koloni Uni Sovjet. Alhamdulillah. Itu semua kehendak Allah. Semoga apa yang menjadi kecemasan kita, tidak terwujud hendaknya. Tentang kehadiran saya dalam dialog dengan wakil walikota, sebagaimana disampaikan Anton SB, saya nyatakan bahwa saya tidak hadir dalam acara tersebut. Mari kita selamatkan iman kita masing-masing. Selamat menjalankan ibadah puasa. Saleum din saja

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)