Jumat, 22 Desember 2006

Kabut Di Malaysia

Langit terlihat berkabut, agak muram, suram dan tak bersahabat, bukan Cuma karena mendung tapi karena asap kiriman dari Negara tetangga yang telah menjadi rutinitas setiap tahunnya. Tapi mau bilang apa Negara tetangga itu juga Negara asalnya. Paling-paling dia hanya bisa tersenyum dengan menahan kesal dihati ketika orang-orang membicarakan tentang Indonesia yang selalu kebakaran hutan. Mau membela juga tidak bisa karena kenyataannya memang seperti itu adanya.

Ansar membuka jendela kamarnya lebar-lebar, angin bercampur kabut berebut masuk kekamarnya yang agak luas. Laki-laki lajang itu merentangkan tangannya, meliukkan badannya kekiri dan kekanan. Persendiannya berbunyi kruk kruk, apakah ini pertanda ia menderita osteoporosis? Ansar tidak tahu, tapi dulu temannya yang kuliah di analis mengatakan begitu. Tetapi sudah tiga tahun terkahir ini Ansar rutin mengkonsumsi susu kalisum, karena itu dia yakin tulangnya baik-baik saja.

“Ansar cari makan yuk. Lapar sangat nih.”
Wan Hamid teman kamar sebelah Ansar berteriak dari kamarnya. Kamar Ansar dan kamar Hamid berhadapan. Jadi kadang komunikasi cukup dilakukan dengan berteriak ria.

“Ayolah, perutku pun sudah berkeriuk.”

Wajar, jam didinding sudah menunjukkan pukul Sembilan lebih. Hari libur seperti ini sudah menjadi kebiasaan bangun telat, tentu saja kalau tidak ada aktivitas pagi. Ansar meraih jaket adidasnya dan menyisir rambut pendeknya dengan jari. Sekilas ia sempat menoleh kecermin dan tersenyum. Tak mandi pun ganteng aku nih…batinnya penuh percaya diri.

“Kopi jantan satu Mak sama nasi dagang campur mie.” Pesan Ansar pada Mak Yan, pemilik warung.
“Kau Hamid pesan ape?” Tanyanya kepada Hamid.
“Sama sajelah mak.”

Ansar dan Hamid pelanggan setia warung Mak Yan, warung Mak Yan terkenal enak, dan murah untuk ukuran mahasiswa seperti mereka. Selain itu Mak Yan juga enak orangnya, ramah dan bisa lebih kurang. Kadang kalau sedang tidak punya uang mereka diperbolehkan ngebon dulu. Tapi bagi Ansar ada alasan lain selain itu, bertemu dengan Nisa, gadis kelahiran Jawa Tengah yang sudah beberapa tahun ini bekerja di warung Mak Yan. Ansar senang mengobrol dengannya, ia merasa punya teman senasib seperjuangan sesama perantau. Bedanya kalau Nisa sebagai pekerja Ansar adalah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan disalah satu perguruan tinggi di Malaysia.

“Berapa Mak?” Tanya Hamid setelah mereka selesai makan
“Sepuluh ringgit saja.”
“Makasih Mak.”
“Iya balek lagi kemari ya?” Pesan Mak Yan
“Pastilah Mak, dimane lagi cari makan murah dan enak kayak Mak punya ni…” Hamid memang paling pintar menggoda Mak Yan. Ansar yang sedang berpamitan pada Nisa tersenyum melihat ulah temannya yang satu itu.
“Aku pamit dulu Nisa.”
“Iya, sering-sering kemari bang.”

Ansar mengangguk.

“Kau sepertinya suka sama dia ya?” Tanya Hamid ketika mereka pulang. Hujan mulai turun satu-satu. Hamid dan Ansar mempercepat langkahnya, jarak warung dengan flet tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima menit kalau jalan kaki. Jadi mereka tidak membawa kendaraan.

“Aku Cuma prihatin saja sama dia Mid, kasihan.”
“Ya itu artinya kamu punya rasa.”
“Bisa aja kamu, yang namanya seperantauan dimana-mana selalu gitu Mid. Kamu ini macam aja cakap.”
“Hehehe…dia cantik ya?”
“Jangan-jangan kamu yang naksir dia.” Todong Ansar. Hamid tersipu.
“Nanti temani aku ke Hospital University ya?”

Hospital university letaknya tidak jauh dari Petaling Jaya tempat mereka tinggal, rumah sakit terbesar dimalaysia, dibina langsung oleh University of Malaya dan pemerintah. Hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk bisa sampai kesana dengan kendaraan roda dua, itupun kalau tidak macet.

“Rumah sakit terbesar kok namanya Cuma gitu aja?” Tanya Ansar ketika awal-awal dia menginjakkan kaki dinegeri itu.
“Nama tidak penting.” Jawab Hamid
“Yang penting apa?”
“Fasilitas dan pelayanannya bagus.”
Ansar membenarkan dalam hati.

“Ngapain ke Hospital University Mid?” Tanya Ansar
“Mom,”
“Iibu mu masuk rumah sakit?”

Hamid asli warga lokal Malaysia, tapi ia lebih memilih tinggal di flat daripada dengan orang tuanya yang kaya raya, Ansar pernah beberapa kali diajak kerumahnya dikawasan Pangsa Puri di Hulu Klang, kawasan elite tempat tinggal artis-artis di Kuala Lumpur. Seperti istana rumahnya, besar, cantik, halamannya luas…sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rumah Ansar dikampungnya sana. Meskipun Ansar juga bukan dari keluarga kekuarangan, rumahnya masih rumah Aceh, orang tua Ansar orang kaya kampung, punya tanah luas dan ternak yang banyak.

“Bukan.”
“So?”
“Pembantu Mom. Ngga tahu sakit apa. Ded lagi keluar negeri makanya saye disuruh kesana temani mom.”
“Oh.”
“Abis kita jenguk Mom kita ke Chow Kit ya…saye pingin makan sayur dari kampong mu.”
“Dengan senang hati.” Jawab Ansar cepat.

Kalau hari libur dan ada waktu luang Ansar dan Hamid sering ke Chow Kit, disana ada rumah makan Aceh yang sangat tekenal. Disanalah Ansar bisa mengobati kerinduannya kepada tanah kelahirannya, dengan pelayannya biasanya dia sering bercakap-cakap dengan bahasa Aceh. Dari Ansar juga Hamid keranjingan makan masakan khas Aceh seperti kuah pliek dan kari kambing. Juga makanan lainnya seperti timphan dan meuseukat.

@@@

“Kita langsung ke Chow Kit ya Sar, udah tak sabar nak makan kue timphan dari kampong awak.”
“Tak minat lagi saye, penat sangat nih. Nak langsung balek saja ke flet.” Jawab Ansar malas.
“Kenape pulak awak nih hah? Tadi cakapnya bisa” Hamid merengut
“Awak pegi sendiri saje lah.” Ansar meninggalkan Hamid sendiri. Ia segera menyeberang jalan dan menyetop angkutan umum. Sempat dilihat wajah Hamid masam dan juga heran dengan perubahan sikapnya. Ah, apa pedulinya. Hamid memandangi Ansar dengan sinis hingga ia menghilang dibalik jalan.

Kabut asap dari negeri jiran kampung asalnya kembali berputar-putar diluar sana. Semuanya kabur dan ngga jelas. Ansar menatap kabut itu tak berkedip. Perih hatinya. Sakit. Tersayat-sayat seperti diiris dengan pisau tajam lalu diberi cuka. Dia marah. Tapi kepada siapa? Kepada Hamid kah? Tapi apa salah Hamid? Tidak ada. Yang salah adalah ibunya. Orang kaya yang tidak tahu diri.

“Apa benar kamu jatuh dari tangga Pit?” Tanya Ansar ketika Hamid dan ibunya keluar ruangan.
“Iya bang…” jawab Pipit lemah.

Pipit adalah pembantu rumah tangga di rumah Hamid, dia juga berasal dari Indonesia seperti Ansar dan Nisa. Sudah dua tahun bekerja dikeluarga Hamid. Gadis dua puluh lima tahun itu kini tergolek tak berdaya diatas brankar. Tubuhnya memar-memar dan membiru, pelipis sebelah kirinya luka dan bibirnya bengkak.

“Pit…mau berbohong pada saya?” paksa Ansar. Dia yakin Pipit bukan jatuh dari tangga tapi dianiaya seperti kebanyakan pekerja-pekerja lainnya di Malaysia ini. Itu adalah cerita lama yang tidak bisa disembunyikan, apalagi oleh seorang Pipit.

“Bener kok bang” gadis itu masih bersikeras
“Ngga apa-apa kalau kamu masih mau bertahan dengan kondisimu seperti ini, aku ini saudaramu, kenapa harus takut bilang kalau kamu disiksa hah?” suara Ansar ditekan agar tidak terdengar keluar.

Beberapa kali kerumah Hamid membuatnya sedikit banyak tahu tentang Pipit, dia berasal dari Sulawesi. Anaknya pendiam dan tidak banyak omong. Pertemuan terakhir dengannya Ansar menangkap gelagat lain diwajahnya yang polos. Dia tampak tertekan sekali. Matanya mendung. Tapi Ansar tidak punya firasat apa-apa ketika itu. Apalagi dari yang ia lihat ibu maupun ayah Hamid sepertinya orang baik-baik.

Mata pipit menerawang, dua butir bening meleleh ke pipinya, ia meringis dan buru-buru menyapu air matanya.
“Iya bang, aku dianiaya oleh majikanku….”
“Sudah ku duga!!!”

Tangan Ansar mengepal, tapi dia hanya bisa meninju dinding kamarnya saja. Matanya menatap lurus kedepan. Menatap kabut. Pipit bukan hanya dianiaya, tapi juga diperkosa oleh ayah Hamid, dan sekarang dia dirawat dirumah sakit karena keguguran akibat dianiaya dan mengalami benturan yang keras diperutnya ketika ditendang oleh ibu Hamid. Dan ini bukanlah kejadian pertama yang dialami Pipit tapi sudah berulang-ulang.

Ansar benar-benar tidak bisa menerima kejadian ini, bukan kerena dia kenal dengan pipit, tapi karena Hamid adalah sahabatnya yang ia kenal sangat baik, begitu juga keluarganya. Tapi kenapa mereka memperlaukan seoran Pipit dengan begitu rendahnya.

Ansar terus menatap kabut. Ia tak peduli Hamid berteriak-teriak memanggilnya dari luar. Darahnya mendidih, marah telah membuatnya tak lagi ingin mengenal Hamid. Apakah Hamid tidak tahu perbuatan orang tuanya? Apakah Hamid ikut andil dalam semua ini? Dan masih banyak apakah-apakah lainnya yang terus berputar-putar dikepala Ansar. Bayangan Nisa, bayangan Pipit dan dirinya terus berkelebat menjadi bayang-bayang hitam. Sementara diluar sana Hamid tengah menyeringai bagai serigala lapar.
thx to mudy
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)