Kamis, 08 Februari 2007

Perempuan Simpanan

“Benarkah kakak akan ke sini?”
“Iya,” Han Sun menjawab singkat. “Lusa, aku sudah beli tiketnya.”
“Iya, nanti aku jemput.” Suara di seberang sama singkatnya, sebelum akhirnya pembicaraan itu berakhir.
Han Sun adalah orang Indonesia asli. Hanya namanya saja seperti nama orang Cina. Tidak ada asal muasal yang jelas dari nama tersebut. Han Sun adalah seorang perjaka tua, hidup sendiri dan menyendiri.
Orang yang barusan meneleponnya adalah Hani, seorang gadis remaja berada di aceh, Banda Aceh.
Perkenalan keduanya adalah suatu kebetulan. Han Sun yang mengisi hari-hari perjaka tuanya dengan menjelajahi dunia maya bertemulah dengan Hani seorang gadis remaja, mahasiswi perguruan tinggi Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi yang sangat keranjingan internet.
Han Sun dapat menjelajah dunia maya dengan leluasa karena komputer di tempatnya bekerja senantiasa tersambung dengan jaringan internet, selama 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu. Sementara Hani adalah pencinta internet sejati, ia hafal tempat seluruh warnet di Banda aceh, termasuk yang gratis di kampusnya, termasuk juga yang belum berdiri alias baru memasang plang pengumuman ‘disini akan dibuka Warnet ........’ Ia memiliki cukup banyak kartu member warnet berikut dengan kartu diskonnya.
“Kamu Cina ya?” Begitulah pertanyaan Hani saat awal perkenalan mereka beberapa belas bulan yang lalu.
“Bukan, nggak tahu juga kenapa orang tuaku ngasih nama seperti itu, suka aja kali. Kamu mahasiswa?”
“Iya, enak lho ternyata jadi mahasiswa. Kamu udah tua ya?”
“Iya, mungkin hampir seumur ayahmu.”
“Oops!, tapi nggak apa-apa kok?”
Setelah beberapa bulan berteman Han Sun mulai berani membuka sedikit demi sedikit kisah-kisah pribadinya. Termasuk kisah cinta terakhirnya yang berakhir tragis.
Sebenarnya dimasa mudanya, Han Sun bukanlah pemuda yang ‘tidak laku’. Wajahnya tidaklah jelek, walaupun tidak dapat juga dikatakan tampan sekali. Matanya yang teduh dengan bola matanya yang besar sungguh sangat mempesona. Tutur katanya yang sejuk menambah daya tariknya. Terakhir kemampuannya memainkan alat-alat musik dan menyanyikan lagu melengkapi talentanya sebagai penebar cinta, penakluk hati wanita sejati. Perempuan manapun akan tergetar hatinya bila bertatapan dengan bola matanya. Teman-teman SMA-nya, guru-gurunya, anak-anak kecil bahkan nenek-nenek sekalipun. Bila menatap matanya sambil mendengar-tutur katanya, maka perempuan-perempuan itu akan tergetar tubuhnya. Bila menatap matanya, mendengar tutur katanya, lalu dilanjutkan dengan mendengar alat musik yang dimainkannya berikut lagu-lagu cinta yang dilantunkannya, maka perempuan-perempuan itu akan menggelepar-gelepar seperti ikan yang dikeluarkan dari empang ke daratan. Tinggal mau diapakan terserah, mau di gorang atau di bakar! Ah, tidak sampai separah itu. Tetapi benar kalau dikatakan Han Sun banyak penggemarnya, banyak yang jatuh cinta padanya dan memang banyak pacarnya. Hingga semua itu berakhir ketika ia bertemu dan jatuh cinta dengan Narti, seorang gadis keturunan Tiong Hoa. Lucu, laki-lakinya yang orang Indonesia asli bernama Han Sun, sementara perempuannya yang Cina totok malah namanya Narti. Tapi itulah yang terjadi dan tentunya tidak ada gunya mempersoalkannya. Keduanya saling jatuh cinta. Tapi, perbedaan adat budaya, suku, agama bahkan bangsa, meluluh lantakkan cinta yang telah mereka bangun berdua. Cinta yang sedang indah-indahnya bersemi itu akhir dilumat habis oleh segala macam perbedaan yang tidak dapat dijembatani itu.
Narti membawa pergi jauh-jauh cintanya itu pulang ke negeri leluhurnya dan Han Sun juga pergi menghilangkan diri, meninggalkan kampung halamannya pergi ke Jakarta.
Narti memutuskan untuk tidak menikah dan Han Sun juga berjanji di dalam hatinya untuk menutup pintu dan jendela serta setiap jalan menuju ke dalam hatinya itu serapat-rapatnya, menguncinya dengan kunci yang besar dan kuat lalu menggantungkan pemberat yang besar pula pada anak kunci itu untuk kemudian melemparkannya ke tengah samudera yang dalam. Jadi, hampir mustahillah untuk membuka hati itu kembali. Belum mustahil sama sekali memang, tetapi jarak ke mustahil itu tinggal beberapa mikron saja.
Konsekuensi dari kebulatan tekad semacam itu adalah mereka akan menjadi perawan tua dan perjaka tua atau jomblo tua. Apakah termasuk High Quality Jomblo atau Low Quality Jomblo belum tahu, karena memang belum ada lembaga yang membuat kualifikasi para jomblo itu. Kecuali Narti yang ke luar negeri, kembali ke kampung halaman, ke negeri leluhurnya, maka dapatlah ia digolongkan sebagai Export Quality Jomblo.
Hani adalah biasa, seorang mahasiswa, calon akuntan. Suka bercerita dan suka menulis cerita itu juga. Cerita apa saja. Cerita senang, cerita sedih, cerita serem, cerita yang menegangkan, cerita yang membangkitkan, cerita lucu, bahkan cerita yang tidak jelas juntrungannyapun juga ditulis dan disodorkannya kepada Han Sun untuk dibaca. Hingga suatu saat, dalam chattingnya,
“Aku mau mengatakan sesuatu padamu, kamu mau mendengar?” Hani berkata pada Han Sun.
“Soal apa? Selama tidak menyangkut permasalahan cinta silahkan saja.” Han Sun langsung memberikan rambu-rambu.
“Sampai segitunyakah? Apakah hatimu tidak mungkin terbuka sama sekali lagi?”
“Aku tidak tahu.”
“Aku tidak berniat membukanya, hanya mengintip melalui lubang kuncinya, bolehkah?”
“Oh, kalo itu, silahkan saja, tadi kamu mau bilang apa?”
“Mmm, jangan terkejut ya, selama ini kamu tahunya aku hanya sebagai mahasiswa tok. Sebenarnya......ya.... aku juga sebagai perempuan simpanan.”
DEG, “APA?” Han Sun sangat terkejut, seperti disambar petir, mati, hidup lagi, disambar petir lagi mati lagi.
“Iya, itulah sebenarnya aku, kalau karena itu kamu memutuskan untuk tidak berhubungan denganku lagi, maka hubungan kita berakhir sampai di sini.”
“Oohh.” Han Sun masih belum sepenuhnya normal dari keterkejutannya. “Tidak apa-apa, tapi..... kenapa seperti itu, apakah kamu menggantungkan hidup kepada laki-laki itu?”
“Iya, sangat! Dia membiayai seluruh kebutuhan hidupku, bahkan lebih dari itu, juga juga kasih sayang dan cintanya diberikan untukku.”
“Mengapa tidak menikah saja dengannya?”
“Tidak mungkin, tidak bisa.”
“Kamu mencintainya?”
“Sangat!”
“Ooh...”
“Tapi aku mencintaimu juga.”
“Tapi aku sudah tua.”
“Siapa?”
“Aku.”
“Siapa yang tanya?”
“Ah!”
“Aku tidak peduli, tapi untuk menghormati usiamu yang sudah tua itu, kamu kupanggil kakak, boleh?”
“Boleh juga, silahkan saja.”
Han Sun mengalami surprise yang luar biasa. Mana ada seseorang yang tanpa diminta mengaku mengatakan dirinya sebagai perempuan simpanan.
Seperti apa sebenarnya sosok perempuan simpanan ini sangat menggoda pikiran Han Sun untuk mengetahuinya lebih dalam. “Apa yang kamu lakukan untuk laki-laki itu?” Han Sun mengajukan pertanyaannya.
“Semua yang bisa dilakukan oleh seorang perempuan simpanan.” Hani menjawab sangat apa adanya. “Sebentar, kepalaku sakit sekali.”
Keluhan rutin yang selalu didengar Han Sun dari Hani. Hani selalu mengeluhkan kepalanya yang tiba-tiba menjadi sakit sekali, yang menurutnya hampir tak dapat ditahannya. Han Sun senantiasa menyarankan agar Hani check up ke Lab, periksa ke dokter, berobat ke Rumah Sakit atau setidaknya minum obat sakit kepala atau paling setidaknya lagi ke dukun. Setiap kali pula Hani menolak.
“Aku akan ke dokter bila bersama-sama dengan kakak.” Kata Hani
“Kan ada laki-laki yang menjadikanmu simpanannya itu.”
“Tidak, aku tidak mau, aku mau pergi hanya dengan kakak.”
“Terlalu biaya tinggi kalau ke Aceh hanya untuk mengantarmu ke dokter.”
“Cari alasan apa gitu ke tempat kerjamu biar bisa pergi ke Aceh, biar bisa sekalian mengantarku.”
“Aku akan ke Aceh kalau nanti tidak hanya sekedar mengantarmu.”
“Maksudmu?”
“Masa jauh-jauh ke sana hanya mengantar.”
“Trus?”
“Aku boleh menyentuhmu?”
“Boleh.”
“Kita akan menikah?” Han Sun bergurau.
“Menikah? Tergantung.”
“Kok tergantung?”
“Iya, pertama, yang mencintaimu kan baru aku. Sementara kakak baru mengijinkan aku mengintip dari lubang kunci hatimu yang tertutup rapat.”
“Yang kedua?”
“Yang kedua, harus minta ijin terlebih dahulu kepada laki-laki yang menjadikanku simpanannya itu. Kalau dia mengijinkan, kita akan menikah.”
“Uh, saya habisi saja orang itu!”
“Tidak boleh! Kakak hanya harus meminta ijin padanya, bukan menghabisinya. Kalau dia mengijinkan, kita akan menikah, kalau tidak ya tidak.”
“Uh.”
“Gimana, mau?”
“Ya....., mau bilang apa lagi, kalau itu maumu.” Han Sun menjawab dengan sangat terpaksa.
“Tapi sebentar, kakak sungguh-sungguh akan menikah denganku?”
“Tidak tahu, aku hanya penasaran saja, apakah aku masih punya kemampuan merebutmu dari laki-laki tidak tahu diri itu.”
“Harap kata-kata ‘tidak tahu diri’ itu dihapus!”
“Kenapa.”
“Aku tidak suka ada yang mengatakannya seperti itu.”
“Baiklah.”
Tibalah hari pertemuan itu. Hansun menunggu di Restoran sekaligus Hotel bernama Serambi. Menunggu dengan kesal karena Hani tidak muncul-muncul. Untuk membunuh kebosanan ia numpang bermain piano yang ada disudut restoran. Tak lama,
“Lumayan juga.” Oh kamu udah datang?
“Mana laki-laki itu?”
“Tidak usah terburu-buru, boleh minta satu lagu lagi? Lagian kok gak nanya khabar, gak bersalaman?”
“Ooh maaf.” Hansun mengulurkan tangannya, bersalaman
“Dia belum datang, mainkanlah satu lagu lagi.”
Han Sun memainkan lagu ‘Kumenanti Seorang Kekasih’-nya Iwan Fals
Hani bertepuk tangan, lalu mendekati Han Sun lagi, “Tuh dia udah datang.” Hani menunjuk laki-laki separuh baya yang baru masuk ke restoran.
“Perempuan yang bersamanya, siapa dia?”
“Istrinya.”
“Oops, bagaimana bisa?” Han Sun keheranan.
“Udah, minta ijin aja padanya, katanya kamu ingin menikah denganku?” Hani dengan cepat meraih tangan Han Sun lalu dengan setengah memaksa menyeretnya ke depan laki-laki itu. “Nah bicaralah.”
Han Sun tergagap diperlakukan seperti itu. Dia menjulurkan tangannya, bersalaman.
“Kamu Han Sun?”
“Iya.”
“Hhhhh....”Laki-laki separuh baya itu menarik nafas dalam. “Maafkan kelakuan Hani. Sebagai apa dia memperkenalkan dirinya padamu?”
“Maksud Om, eh Pak eh.”
“Dia bilang kalau dia perempuan simpanan?”
“Iya. dan kalau aku mau menikah dengannya aku harus minta ijin dulu sama situ.” Han Sun mulai bicara ketus.
“Iya, dia anakku.”
DEG! Han Sun dipukul kaget.
“Umurnya tidak panjang lagi.”
DEG DEG! Han Sun dua kali dibuat kaget. Dia melirik Hani yang tenang sedang minum es campurnya.
“Hani menderita kanker di kepalanya dan kemungkinan disembuhkan kecil sekali. Karena itu dia tidak pernah berhubungan serius dengan laki-laki, karena takut akan mengecewakan dirinya sendiri dan laki-laki itu bila tahu umurnya pendek. Punya anak seperti dia, ya, seperti punya simpanan memang. Tidak kepada setiap orang dapat diberikan dan tidak tiap orang juga mau menerimanya bila aku berniat memberikannya. Hani memang sudah jadi simpanan orang tuanya untuk suatu saat diberikan pada orang yang tepat. Orang yang mau menerimanya dengan ikhlas dan orang yang dapat kuyakini penerimaannya hingga hatiku ikhlas pula memberikannya. Dia telah menceritakan banyak hal tentang Han Sun, dirimu.” Suara laki-laki itu sangat lembut.
Ketika itu Hani telah mendekat. “Gimana, masih mau menikah denganku?”
Han Sun menatapnya sebentar lalu, “Bapak mengijinkan?”
“Terserah Hani saja.” Laki-laki itu menatap sendu anaknya.
“Kakak mau beristri hanya untuk waktu sebentar?”
“Iya, tapi aku sendiri sudah tua?”
“Kalau melihat usia saat ini mungkin, tapi bila melihat sisa usia kita, mungkin aku lebih tua.” Hani berkata lirih. “Berarti aku sudah menemukan kunci pintu hatimu yang kau buang itu?” Lanjutnya
“Bukan kamu, ayahmu, laki-laki yang menjadikanmu simpanannya ini.”
“Jadi, akan ada janur melengkuk kak?”
“Iya, dan akan lebih melengkung, karena kamu menggantungkannya pada bambu yang tua.”
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)